Di tengah laju adopsi kecerdasan buatan (AI) dan disrupsi digital, dunia pendidikan menghadapi tantangan besar: bagaimana menyiapkan anak-anak untuk masa depan yang penuh ketidakpastian, namun juga sarat peluang.
Laporan terbaru World Economic Forum (WEF) mencatat bahwa sekitar 39 persen keterampilan kerja saat ini diprediksi akan usang pada 2030 akibat otomatisasi dan perubahan teknologi. Sejumlah pekerjaan administratif dan rutin diperkirakan akan tergantikan mesin. Namun di saat yang sama, justru muncul kebutuhan baru terhadap kemampuan yang sulit digantikan AI, seperti kreativitas, berpikir kritis, empati, dan kecerdasan emosional.
Kondisi ini membuat pendekatan pendidikan yang hanya menitikberatkan aspek akademik dinilai tidak lagi cukup. Anak-anak perlu dibekali karakter, ketangguhan mental, serta kemampuan beradaptasi agar mampu bertahan dan berkembang di masa depan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pandangan tersebut sejalan dengan pengalaman Warren Wessels, Koordinator IB Diploma Programme di North Jakarta Intercultural School (NJIS). Dengan pengalaman lebih dari 16 tahun di dunia pendidikan, Warren menegaskan bahwa tujuan pendidikan seharusnya melampaui sekadar pencapaian nilai.
"Prestasi akademik memang penting, tetapi perkembangan identitas, kepercayaan diri, ketahanan, dan kecerdasan sosial-emosional sama pentingnya. Pendidikan adalah perjalanan untuk menjadi pribadi yang utuh," ujarnya, dalam keterangan yang diterima detikINET.
Menurut Warren, siswa belajar paling efektif dari contoh nyata. Jika sekolah ingin menumbuhkan rasa ingin tahu, keberanian bertanya, dan empati, maka nilai-nilai tersebut harus dipraktikkan langsung oleh para pendidik dalam keseharian.
Ia mencontohkan kerangka International Baccalaureate (IB) Continuum yang diterapkan di NJIS. Program seperti Theory of Knowledge (TOK) mendorong siswa mempertanyakan asumsi dan memahami bagaimana budaya, bahasa, serta emosi membentuk cara pandang mereka. Sementara Extended Essay melatih siswa melakukan riset mandiri layaknya mahasiswa, mulai dari merumuskan pertanyaan hingga membangun argumen.
Selain itu, lingkungan belajar yang beragam juga dinilai krusial. Dengan siswa dari berbagai latar budaya, bahasa, dan kondisi belajar, empati dan kesadaran global tumbuh secara alami.
Bagi Warren, semua proses ini hanya dapat berjalan jika siswa merasa aman secara emosional. "Ketika anak merasa dihargai dan dipercaya, mereka berani mencoba, gagal, lalu bangkit kembali," katanya.
Di era AI, pendidikan bukan lagi sekadar soal menyesuaikan diri dengan masa depan, tetapi tentang mempersiapkan generasi yang mampu membentuk masa depan itu sendiri.
(asj/asj)