Di tengah meningkatnya kebutuhan layanan data dan perluasan jaringan 4G dan 5G, infrastruktur menara masih menjadi penopang utama ekosistem telekomunikasi di Indonesia. Mitratel menyebutkan tower tetap menjadi backbone paling krusial dalam memastikan kualitas jaringan tetap stabil dan merata, termasuk di wilayah timur Indonesia.
"Untuk saat ini ekosistem telekomunikasi masih ditopang oleh menara. Kalau itu menghadapi kendala, tantangan, regulasi yang nggak sejalan dengan perkembangan kebutuhan operator, ya akan mengorbankan kepentingan pengguna ujung-ujungnya," ujar Manager OM & Deployment Mitratel Bali-Nusra Andi Baspian Yasma, saat kunjungan ke salah satu site menara Mitratel di Kabupaten Klungkung, Bali, Jumat (12/12).
Meski tengah mendorong konsep pengembangan hub, Mitratel menilai menara tetap menjadi struktur yang paling berdampak langsung dalam memperkuat jaringan. Namun, proses pembangunan tower, terutama di kawasan Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur (Bali-Nusra) tidak selalu mulus.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tantangan utama di Bali-Nusra
Menurut Andi, faktor geografis dan infrastruktur membuat wilayah Bali-Nusra, terutama NTT, menjadi salah satu area paling menantang dalam pembangunan menara baru.
Pertama, hal itu karena semua material tower harus didatangkan dari Jakarta. "Material tower nggak ada di Bali. Di Surabaya pun kayaknya untuk pabrikasi tower utuh itu belum ada. Adanya di Bekasi, di Tangerang. Itu tantangan pertama, transportasi," ujarnya.
Pengiriman material dari Jakarta membuat biaya logistik meningkat dan waktu pembangunan lebih panjang dibanding wilayah lainnya.
Kedua, sulitnya medan berbukit atau wilayah rural, dan akses yang terbatas. Banyak rencana pembangunan menara berada di area pegunungan atau pedesaan terpencil.
"Lokasi-lokasinya di atas bukit, masuk ke rural yang butuh moda transportasi berganti-ganti. Truk besar nggak bisa lewat, turunin lagi, diangkut pindahkan ke kendaraan yang lebih kecil. Mode transportasinya berubah-ubah," jelas Andi, merinci bahwa kondisi ini membuat proses distribusi material menjadi jauh lebih kompleks.
Yang terakhir adalah terkait pasokan listrik PLN. Pasokan daya menjadi tantangan lain, karena PLN juga harus menimbang investasi sebelum memperluas jaringan. "Yang paling menjadi problem sebenarnya di power PLN. PLN sendiri juga punya Capex. Meskipun pelayanan publik, PLN nggak bisa asal bangun. Dia punya analisa bisnis juga," ungkapnya.
Ia menyebut, estimasi biaya pembangunan tower bervariasi. Namun untuk wilayah paling menantang seperti NTT, besaran dana bisa jauh lebih besar dibandingkan daerah lain.
"Kalau kita bicara NTT yang paling tinggi ya rata-rata range estimasi Rp 1 miliar. Untuk pembangunan baru range-nya rata-rata mungkin dari Rp 700-an (juta)," sebutnya.
Biaya tersebut juga dipengaruhi oleh lokasi, ketinggian tower, model struktur, dan kebutuhan akses transportasi. Namun yang jelas, di tengah transformasi digital dan percepatan 5G, Mitratel menegaskan menara memiliki peran vital bagi industri telekomunikasi.
Dengan berbagai tantangan yang dihadapi di Bali-Nusra, penyediaan infrastruktur tidak hanya membutuhkan investasi besar, tetapi juga koordinasi lintas sektor agar layanan telekomunikasi tetap optimal bagi masyarakat.
(rns/rns)