Pentingnya Regulasi demi Kehadiran 5G
Hide Ads

Pentingnya Regulasi demi Kehadiran 5G

Anggoro Suryo Jati - detikInet
Minggu, 13 Sep 2020 21:02 WIB
Ilustrasi 5G
Ilustrasi 5G. Foto: Huawei
Jakarta -

Kehadiran 5G di Indonesia adalah sebuah keniscayaan, alias suatu saat nanti bakal digelar di Indonesia. Namun, penggelaran jaringan 5G ini sangat membutuhkan regulasi baru.

Itulah yang dijelaskan oleh Adis Alifiawan, Kepala Subdirektorat Penataan Alokasi Spektrum Dinas Tetap dan Bergerak Darat Kominfo dalam diskusi daring 'Tok Tok Kominfo'.

Menurut Adis, hal ini sama ketika teknologi 4G pertama ditemukan, di mana ada negara yang langsung menerapkan, namun ada juga yang belum. Pada akhirnya, semua negara mengimplementasikan 4G.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Memang saat ini jaringan 4G belum merata. Setelah ada arahan dari Presiden Joko Widodo pada Rapat Kabinet 3 Agustus 2020 yang lalu, Kemenkominfo dan operator tengah bekerja keras agar tahun 2022 seluruh daerah di Indonesia dapat menikmati layanan 4G," terang Adis.

Adis menjelaskan bahwa masuknya teknologi telekomunikasi 5G ini ke Indonesia akan memberikan banyak manfaat. Seperti latency yang rendah, daya tampung jaringan yang lebih besar serta kecepatan transfer data yang sangat tinggi. Jika 5G ini dapat segera diimplementasikan di suatu negara, maka daya saing negara tersebut terang Adis akan semakin meningkat.

ADVERTISEMENT

Terlebih lagi banyak penggunaan 5G yang bisa bermanfaat untuk mengatasi berbagai kendala serta permasalahan di Indonesia. Seperti masalah kemacetan, polusi, pertanian, smart city dan serta mengembangkan pusat-pusat internet di berbagai daerah.

"Saat ini Indonesia ingin mendapatkan bonus demografi. Kita berharap 5G juga hadir di daerah. Tujuannya agar tercipta kantong-kantong inovasi di berbagai daerah agar angka urbanisasi dapat semakin dikurangi. Oleh sebab itu Pemerintah melalui Kemenkominfo tengah mempersiapkan masuknya teknologi 5G ke Indonesia. Tujuannya agar daya saing Indonesia akan jauh lebih meningkat lagi. Dengan adanya teknologi 5G Kominfo berharap Indonesia dapat lebih maju dari sisi teknologi informasi," ujarnya.

Adis mengakui kehadiran teknologi 5G ini mengubah lanskap regulasi yang ada di Indonesia. Sebelum diberlakukannya UU 36 tahun 1999, rezim telekomunikasi Indonesia masih menganut monopoli. Namun setelah UU tersebut diberlakukan, maka rezim pasar bebaslah yang berlaku di industri telekomunikasi. Dengan adanya 5G ini pasar bebas yang saat ini berjalan diharapkan dapat berkolaborasi dan berkonvergensi.

"Sehingga dengan adanya 5G ini yang selama ini pemain di industri telekomunikasi berlimpah, diharapkan bisa saling berkolaborasi. Termasuk dalam membangun infrastruktur telekomunikasinya. Kunci 5G bukan pada jualan di infrastrukturnya. Tetapi layanannya. Jadi setiap operator tidak perlu membangun jaringannya masing-masing. Karena membutuhkan kolaborasi dan mengubah landscape regulasi, makanya Pemerintah tengah membuat regulasi agar sharing infrastructure ini bisa dipayungi dalam aturan," terang Adis.

Butuh regulasi baru karena spektrum terbatas
Ada beberapa hal yang akan dimasukkan dalam RUU Cipta Kerja oleh Pemerintah. Pertama adalah mengenai spectrum sharing. Saat ini ada 6 operator selular di Indonesia yang beroperasi. Padahal jumlah spektrum yang ada terbatas. Sementara kebutuhan spektrum di teknologi 5G sangat besar.

Jika seluruh operator ingin mendapatkan spektrum untuk 5G, maka frekuensi yang ada tak akan mencukupi. Agar seluruh operator mendapatkan frekuensi, maka spektrum yang ada akan dibagi-bagi.

"5G itu rakus bandwidth. Minimum spektrum untuk 5G adalah 100 Mhz. Jika dibagi-bagi tak akan cukup dan masyarakat tidak akan mendapatkan true 5G. Dengan kebijakan spectrum sharing yang tengah diupayakan masuk dalam RUU Cipta Kerja ini dimungkinkan operator yang akan menggembangkan 5G dapat melakukan penggabungan frekuensi yang dimiliki," jelas Adis.

"Penggabungan spektrum untuk teknologi baru seperti 5G ini harus dipayungi oleh regulasi agar tidak ada masalah hukum dikemudian hari. Saat ini bola pembahasan RUU Cipta Kerja sudah berada di DPR. Pemerintah berharap agar RUU Cipta kerja ini dapat diselesaikan di tahun 2020 ini," tambahnya.

Mengingat spektrum frekuensi sebagai sumber daya terbatas milik negara maka penggunaan spektrum frekuensi oleh para operator telekomunikasi tentunya harus memberikan kontribusi PNBP sektor telekomunikasi. Apalagi ditambah dengan permintaan yang tinggi dari operator telekomunikasi.

Disamping mendapatkan manfaat dari layanan telekomunikasi, tentunya masyarakat berharap negara juga mendapatkan kemanfaatan dari sisi PNBP. Jangan sampai konsep sharing ini malah menurunkan pendapatan negara.

Saat ini spektrum 5G yang banyak digunakan adalah 3500 Mhz. Frekuensi 3500 Mhz tersebut saat ini menurut Adis masih dipergunakan oleh beberapa operator satelit. Untuk negara kepulauan seperti Indonesia, kebutuhan akan satelit masih sangat diperlukan. Sehingga penggunaan spektrum 3500 Mhz untuk 5G masih perlu membutuhkan waktu lebih agar operator satelit dapat melakukan transisi.

"Waktu ini dibutuhkan agar operator satelit dapat melakukan transisi atau migrasi secara smooth. Jangan sampai tiba-tiba seluruh ATM di Jakarta yang menggunakan satelit menjadi terputus akibat adanya 5G. Kemenkominfo saat ini tengah intensif melakukan uji coba 5G di 3500 Mhz," ujar Adis.

Selain itu, pemerintah juga memasukan pembahasan mengenai infrastruktur sharing. Sehingga ducting, tower atau infrastruktur pasif lainnya dapat disharing dengan harga yang rasional. Adis mengatakan, saat ini banyak operator telekomunikasi menginginkan agar sharing infrastructure dapat berjalan.

Namun ketakutan mereka adalah jangan sampai ketika sharing tersebut dilakukan akan membawa konsekuensi hukum. Karena saat ini tidak ada regulasi yang gamblang untuk memayungi sharing infrastructure ini. Agar tak membawa konsekuensi hukum, Pemerintah sudah memasukkan regulasi telekomunikasi ke dalam RUU Cipta Kerja.

Halaman 2 dari 2
(asj/asj)