Pembangunan jaringan backbone fiber optik yang dilakukan oleh pemerintah dan operator telekomunikasi, diperkirakan tak akan menggerus bisnis satelit di Indonesia.
Bahkan seiring dengan kebutuhan masyarakat akan layanan data, membuat permintaan akan layanan data melalui jaringan satelit meningkat sangat tinggi.
Ketua Umum Asosiasi Satelit Indonesia Hendra Gunawan mengatakan kondisi geografis Indonesia yang merupakan negara kepulauan, tidak akan mematikan industri satelit. Sebab pembangunan jaringan palapa ring baru mencapai kota-kota besar.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Apa lagi masih banyak jaringan backbone palapa ring belum mempunyai lastmile untuk menghubungkan kota-kota kecil. Tahun 2020 Hendra memperkirakan peningkatan kebutuhan akan satelit mencapai sekitar 5%. Dan itu menjadi peluang tersendiri bagi operator satelit nasional.
Meski kebutuhan akan satelit masih sangat tinggi, suplai transponder masih bisa dipenuhi oleh operator nasional dan asing yang telah memiliki lisensi (landing right). Total data yang ada di Kemenkominfo hingga saat ini ada setidaknya 50 satelit yang bisa melayani masyarakat di Indonesia. Kapasitas satelit yang dimiliki oleh operator Indonesia hingga saat ini mencapai 241 Transponder Equivalent (TPE) dan 12 Gbps High throughput satellites (HTS).
Lanjut Hendra, saat ini teknologi satelit yang paling efektif adalah dengan HTS. Dengan menggunakan teknologi HTS, bisa memberikan cost yang paling efektif dengan kapasitas yang lebih besar ketimbang satelit konvensional.
"Mayoritas operator satelit di dunia sudah menggunakan teknologi HTS. Saat ini hampir seluruh operator satelit di Indonesia sudah menggunakan teknologi HTS baik dengan kapasitas sendiri maupun sewa ke operator asing," terang Hendra dalam keterangan yang diterima detikINET.
Saat ini industri satelit juga disemarakkan dengan hadirnya tekologi satelit orbit rendah atau low Earth orbit (LEO) dan satelit orbit menengah Medium Earth orbit (MEO). Dua teknologi baru ini tidak dianggap Hendra sebagai ancaman bagi industri satelit nasional yang masih menggunakan teknologi Satelit Geostasioner (Geosynchronous satellite).
Justru kehadiran teknologi satelit MEO dan LEO dinilai Hendra mampu untuk melengkapi teknologi yang belum dimiliki oleh satelit GEO. Aplikasi yang tidak membutuhkan latensi rendah masih bisa menggunakan satelit GEO.
Dengan kehadiran satelit LEO dan MEO, Hendra memperkirakan suplai kapasitas satelit dunia untuk beberapa tahun mendatang akan mengalami over suplai. Kondisi ini akan mempengaruhi industri satelit di Indonesia. Sebab di tahun 2021 hingga tahun 2023 akan banyak satelit dengan teknologi HTS yang akan mengcover wilayah Indonesia.
"Banyak operator satelit yang akan mengcover wilayah Indonesia dengan teknologi HTS baik GEO, MEO maupun LEO. Kemungkinan nantinya suplai akan melimpah. Suplai banyak harga akan turun. Operator di Indonesia akan banyak yang akan menyewa satelit GEO dengan teknologi HTS. Mau nggak mau operator Indonesia harus berkolaborasi dengan operator satelit asing tersebut. Itu dimungkinkan dalam regulasi selama operator asing tersebut memiliki hak labuh," kata Hendra.
Berdasarkan informasi dari public domain, satelit dari operator nasional dan global yang direncanakan beroperasi mulai tahun 2020 diantaranya adalah OneWeb, Nusantara Dua, O3b mPower, Starlink, Telesat LEO, Viasat-3 dan Jupiter-3.