Teknologi yang dimaksud antara lain adalah High Altitude Platform System (HAPS), satelit Medium Earth Orbit (MEO), dan Low Earth Orbit Satellite (LEO). Untuk itulah, Direktur Eksekutif ICT Institute Heru Sutadi meminta Menkominfo Johnny G Plate meninjau ulang program satelit milik BAKTI.
Baca juga: Seram, NASA Temukan Dua Planet Bertubrukan |
HAPS misalnya, bisa menyediakan layanan wireless broadband mirip dengan satelit. Namun beroperasi pada ketinggian 5-20 km di lapisan stratosfer dan mampu menjangkau area seluas 1000 km persegi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Satelit SATRIA yang dicanangkan oleh BAKTI menggunakan teknologi GEO. Dengan investasi yang mencapai Rp 21,4 triliun. Dana tersebut belum termasuk pengadaan ground segment dan backhaul.
"Menurut saya dengan adanya teknologi satelit yang baru dan semakin murah, seharusnya Menkominfo yang baru dapat segera meninjau ulang proyek satelit Satria. Dengan skema pembayaran availability payment sebesar Rp 1,38 triliun per tahun selama 15 tahun sangat tidak efisien dan tidak efektif. Bahkan cenderung pemborosan keuangan negara," terang Heru dalam keterangan yang diterima detikINET.
Heru pun memperkirakan wahana ruang angkasa dengan orbit rendah ini akan segera masuk ke Indonesia. Karena beroperasi di orbit rendah, cakupan layanan yang diberikan wahana ruang angkasa orbit rendah tidak sebesar GEO.
Karena benefit yang sama dan harga yang jauh lebih murah ketimbang GEO, diperkirakan teknologi terbaru mirip satelit ini bisa dimplementasikan di Indonesia, khususnya di daerah 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal) yang belum mendapatkan layanan telekomunikasi karena kendala geografis yang sulit.
![]() |
Tak dipungkiri kebutuhan telekomunikasi menggunakan satelit di Indonesia masih dibutuhkan. Namun menurut Komisioner Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) periode 2006-2009 dan 2009-2011 kebutuhan tersebut harus disesuaikan dengan kemampuan pembayaran dan kebutuhan masyarakat di daerah 3T.
Untuk melayani masyarakat di daerah 3T menurut Heru Pemerintah masih bisa menyewa dari operator satelit eksisting saja. Tidak perlu Pemerintah memiliki satelit dengan kapasitas besar dan harganya mahal.
Apalagi pendapatan BAKTI hanya berasal dari 1.25% pendapatan bersih operator yang besarannya tidak menentu. Jika pendapatan operator meningkat maka pendapatan BAKTI juga meningkat. Namun sebaliknya jika pendapatan operator turun, maka pendapatan BAKTI turun. Dengan kondisi pendapatan BAKTI yang berfluktuatif dan tidak menentu tersebut, evaluasi terhadap proyek satelit SATRIA mutlak dilakukan oleh Menkominfo.
Terlebih lagi dari 150 ribu titik yang dijadikan target oleh Menkominfo periode Rudiantara, tidak semuanya masuk kriteria pengguna dana USO. Jika tidak ada evaluasi menyeluruh, Heru memperkirakan akan ada pemborosan keuangan negara dan inefisiensi penggunaan dana USO. Jika kapasitas lebih namun tidak ada orang yang memakai, maka akan mubazir.
"Harusnya jika satelit tersebut dipakai oleh Pemerintah Daerah, harusnya mereka menggunakan danadariKemendagri. Jika untuk rumah sakit, maka harus menggunakandanaKemenkes. Bukan semuanya dibebankan kedanaUSO. Evaluasi penggunaandanaUSO harus segera dilakukanolehMenkominfo Johnny G. Plate agar inefisiensiprogramMPLIK (Mobil Pusat Layanan Internet Kecamatan) tidak terjadi lagi,"pungkasHeru.
(asj/asj)