Ironis. Nvidia dikenal sebagai perusahaan pembuat chip AI paling canggih di dunia, namun bos besarnya malah menjadi korban deepfake yang dibuat menggunakan AI. Sebuah video palsu di YouTube menampilkan versi digital Jensen Huang sedang mengumumkan proyek kripto palsu, dan sukses menipu puluhan ribu penonton.
Penipuan ini pertama kali disorot oleh jurnalis teknologi Dylan Martin di platform X. Video tersebut diunggah di kanal bernama NVIDIA Live dan sempat muncul paling atas ketika pengguna mencari "Nvidia GTC DC" di YouTube. Saat puncaknya, siaran palsu itu menarik hingga 95 ribu penonton--meski sebagian di antaranya diyakini bot--sementara keynote asli Nvidia hanya ditonton sekitar 12 ribu orang.
Dalam video yang kini sudah dihapus, "Jensen Huang" versi AI membuka pidato dengan menyebut ada "kejutan besar" berupa acara adopsi massal kripto yang disebut-sebut sejalan dengan misi Nvidia "mempercepat kemajuan manusia."
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Deepfake itu lalu menjelaskan bagaimana chip Nvidia bisa digunakan untuk menambang kripto, mengoptimalkan kontrak pintar Ethereum, dan mempercepat transaksi Solana.
Di akhir segmen, penonton diminta memindai kode QR di layar untuk "berpartisipasi" dalam skema distribusi kripto yang konon diluncurkan oleh Nvidia. Tentu saja, itu adalah penipuan, demikian dikutip detikINET dari Techspot, Kamis (30/10/2025).
Butuh waktu sekitar 40 menit sejak laporan pertama Martin hingga YouTube akhirnya menurunkan video tersebut. Namun dalam dunia internet, 40 menit sudah cukup lama untuk menjerat korban yang percaya begitu saja.
Kasus ini bukan yang pertama. Pada 2025, versi AI dari suara Elon Musk juga digunakan dalam siaran langsung YouTube untuk mengelabui penonton agar mengirim Bitcoin dan Dogecoin ke situs palsu dengan janji imbalan ganda.
Fenomena ini menunjukkan betapa cepatnya teknologi AI berbalik arah dari alat inovasi menjadi senjata manipulasi. Deepfake kini bukan sekadar hiburan, melainkan ancaman baru terhadap kepercayaan publik di dunia digital. Jika platform besar seperti YouTube saja masih kecolongan, mungkin yang perlu diperbarui bukan lagi algoritma, melainkan kewaspadaan kita terhadap kebenaran yang tampak di layar.
(asj/asj)








































.webp)













 
             
             
  
  
  
  
  
  
 