Banjir besar yang melanda Indonesia baru-baru ini disebut sebagai "gangguan setingkat kepunahan" bagi orangutan Tapanuli, salah satu kera besar paling langka di dunia.
Hal itu dikarenakan habitatnya di hutan Sumatra utara hancur akibat air bah dan tanah longsor yang dipicu oleh cuaca ekstrem.
Orangutan Tapanuli, yang secara ilmiah dinamai Pongo tapanuliensis, hanya ditemukan di wilayah kecil Batang Toru, Sumatra Utara, dan baru diidentifikasi sebagai spesies terpisah pada 2017. Diketahui bahwa spesies ini diperkirakan memiliki populasi di bawah 800 ekor di alam liar, menjadikannya sangat rentan terhadap perubahan lingkungan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kehilangan seekor orangutan saja merupakan pukulan telak bagi kelangsungan hidup spesies ini," kata Panut Hadisiswoyo, pendiri dan ketua Pusat Informasi Orangutan di Indonesia dikutip France24, Sabtu (13/12/2025).
Menurut laporan, banjir besar tersebut telah merusak sebagian besar habitat alami orangutan Tapanuli, termasuk area hutan yang menjadi sumber makanan dan tempat berlindung mereka.
Para ahli konservasi menyebut kerusakan itu sebagai gangguan yang bisa berdampak langsung pada kelangsungan hidup spesies karena jumlahnya sangat kecil.
Erik Meijaard, seorang konservasionis orangutan yang telah lama berkecimpung di bidang ini, memperkirakan bahwa antara enam hingga 11% orangutan kemungkinan besar telah mati.
"Angka kematian individu dewasa apa pun yang melebihi satu persen, akan mendorong spesies tersebut menuju kepunahan, terlepas dari seberapa besar populasinya di awal," ungkapnya.
Meijaard menuturkan citra satelit menunjukkan sayatan besar di lanskap pegunungan, beberapa di antaranya membentang lebih dari satu kilometer dan lebarnya hampir 100 meter.
Gelombang lumpur, pepohonan, dan air yang tumbang menuruni lereng bukit akan menghanyutkan segala sesuatu yang ada di jalannya, termasuk satwa liar lainnya seperti gajah.
Kerusakan habitat seperti ini memperburuk kondisi di mana spesies sudah terancam punah, karena hilangnya hutan berarti berkurangnya sumber makanan dan jalur pergerakan antarindividu, yang penting untuk reproduksi dan kelangsungan populasi.
David Gaveau, seorang ahli penginderaan jarak jauh dan pendiri perusahaan rintisan konservasi The Tree Map, mengatakan keterkejutannya dengan perbandingan kondisi sebelum dan sesudah perubahan di wilayah tersebut.
"Saya belum pernah melihat hal seperti ini sebelumnya selama 20 tahun saya memantau deforestasi di Indonesia dengan satelit," katanya.
Para pakar lingkungan kini menyerukan upaya segera untuk memperkuat perlindungan habitat tersisa dan mencegah kerusakan lebih lanjut, agar ancaman kepunahan tidak benar-benar terjadi bagi orangutan yang sangat langka ini.
(agt/agt)