Sejarah dan Asal-usul Vonis Hukuman Mati yang Diterima Ferdy Sambo
Hide Ads

Sejarah dan Asal-usul Vonis Hukuman Mati yang Diterima Ferdy Sambo

Rachmatunnisa - detikInet
Senin, 13 Feb 2023 18:15 WIB
Mantan Kadiv Propam Ferdy Sambo divonis bersalah melakukan pembunuhan berencana terhadap Brigadir Yosua. Sambo dovinis mati.
Detik-detik Ferdy Sambo divonis hukuman mati (Foto: Grandyos Zafna/detikcom)
Jakarta -

Mantan Kadiv Propam Polri Ferdy Sambo divonis hukuman mati. Ia dinyatakan bersalah melakukan pembunuhan berencana terhadap ajudannya, Brigadir N Yosua Hutabarat.

Hukuman mati adalah suatu hukuman atau vonis yang dijatuhkan pengadilan terhadap seseorang akibat kejahatan tingkat tinggi. Hukuman mati diberlakukan di berbagai negara di dunia, termasuk di Indonesia. Dirangkum detikINET dari berbagai sumber, Senin (13/2/2023) berikut adalah sejarah dan asal-usul vonis hukuman mati.

Asal-usul hukuman mati menjadi kajian para ilmuwan antropologi dan sejarah. Karena, asal muasalnya berakar sangat panjang ke suku-suku primitif yang ada di dunia.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dikutip dari Crime Museum, hukuman mati telah digunakan sebagai metode pencegahan kejahatan sejak zaman dulu. Catatan sejarah menunjukkan, bahkan suku-suku primitif yang paling kuno pun menggunakan metode untuk menghukum pelaku kesalahan dengan mengambil nyawa mereka, untuk membayar kejahatan yang mereka lakukan. Pembunuhan menjadi kejahatan yang paling sering dijatuhi hukuman mati.

Ketika masyarakat kesukuan berkembang menjadi kelas-kelas sosial dan umat manusia menciptakan republik dengan pemerintahannya sendiri, vonis mati menjadi bentuk hukuman untuk bermacam kejahatan, termasuk penyerangan seksual, pengkhianatan, dan berbagai pelanggaran militer.

ADVERTISEMENT

Salah satu dokumen tertulis paling kuno yang mendukung diberlakukannya hukuman mati adalah Kode Hammurabi, yang ditulis pada batu sekitar tahun 1760 SM. Isinya terdiri dari 282 hukum yang dikumpulkan oleh Raja Babilonia Hammurabi.

Beberapa dokumen kuno lainnya yang mendukung hukuman mati termasuk Taurat Yahudi, Perjanjian Lama Kristen, dan tulisan seorang legislator Athena bernama Draco.

Hukuman mati di zaman kuno

Hukuman mati di zaman dulu diterapkan secara lambat, menyakitkan, dan menyiksa. Dalam beberapa kebudayaan kuno, para pelanggar hukum dihukum dengan cara dilempari batu, disalib, dibakar di tiang pancang, bahkan diinjak-injak oleh gajah.

Dalam perkembangannya, masyarakat menyadari bentuk hukuman ini kejam, sehingga berupaya mencari praktik yang lebih manusiawi. Selama abad ke-18 dan ke-19, badan hukum menemukan pendekatan hukuman mati yang bisa dilakukan lebih cepat dan tidak terlalu menyakitkan, salah satunya termasuk digantung dan dipenggal.

Meski demikian, cara ini dinilai masih terlalu sadis terutama karena pada praktiknya masih berdarah-darah dan sering menjadi tontonan publik.

Akhirnya, ditemukan cara menghukum mati yang berlangsung cepat dan dianggap lebih 'manusiawi' antara lain suntik mati dan ditembak tepat di jantung dengan mata ditutup.

Kontroversi

Seiring waktu, hukuman mati dinilai kontroversial di berbagai negara. Penentang praktik hukuman ini menyatakan vonis mati sangat tidak manusiawi dan tidak adil. Mereka percaya bahwa tidak boleh ada nyawa yang harus diambil, terlepas dari kejahatan yang telah dilakukan. Beberapa negara akhirnya ada yang tak lagi mendukung hukuman mati, dan menghapus praktik tersebut sepenuhnya.

Hukuman mati di Indonesia

Gregory Finlayson dalam bukunya 'Indonesian Death Penalty Mechanism' (2020), menuliskan hukuman mati di Indonesia sudah ada sejak 1808, ketika Gubernur Jenderal Hindia Belanda Daendels bertugas di Indonesia.

Hingga masa Demokrasi Liberal, atau pada 1951, hukuman mati diterapkan sebagai strategi untuk membungkam pemberontakan penduduk yang terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia.

Selanjutnya pada masa Demokrasi Terpimpin (1956-1966), Presiden Soekarno mengeluarkan UU Darurat tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi.

UU ini diperkuat dengan Penpres No 5 Tahun 1959 dan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No 21 Tahun 1959 dengan ancaman maksimal hukuman mati. Pada masa Orde Baru, hukuman mati dicantumkan untuk mencapai stabilitas politik dan mengamankan agenda pembanguna.

Mengutip Wikipedia, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tercatat sering kali melakukan protes atas praktik hukuman mati di Indonesia. Juru Bicara Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) PBB Rupert Colville menyampaikan kekecewaannya saat Indonesia melaksanakan eksekusi mati pada tanggal 29 April 2015.

Indonesia tegas memberlakukan eksekusi mati bagi pelaku tindak kejahatan narkoba, namun di sisi lain Indonesia juga mengajukan permohonan agar warganya yang terancam hukuman mati di negara lain bisa diselamatkan.

Menjelang rencana pemerintah untuk melakukan eksekusi mati pada tanggal 29 Juli 2016, eksekusi di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo, Kepala HAM PBB Zeid Ra'ad al-Hussein meminta pemerintah Indonesia untuk menghentikan hukuman mati terhadap terpidana kasus perdagangan narkotika dengan alasan meningkatnya pelaksanaan hukuman mati di Indonesia sangat mengkhawatirkan dan melanggar hak asasi manusia.

Orang Indonesia pertama yang dihukum mati

Oesin Bestari adalah orang Indonesia pertama yang dijatuhi hukuman mati, yakni di tahun 1964. Oestin Bestari merupakan seorang pedagang sekaligus jagal kambing, yang diketahui telah membunuh enam rekan bisnisnya secara keji.

Berdasarkan data dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) jumlah kasus hukuman mati hingga Oktober 2020 mencapai 173 kasus, dengan total 210 Terpidana.

Data ini meningkat dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yakni di bulan Oktober 2018-Oktober 2019 yang tercatat 126 kasus, dengan total 135 jumlah Terpidana. Kasus-kasus tersebut dibagi dalam beberapa rincian yaitu:

1) Kasus narkotika dengan jumlah kasus 149 (86%)
2) Kasus pembunuhan yang direncanakan 23 kasus (13%)
3) Kasus terorisme memiliki jumlah kasus sebanyak 1 kasus (1%).




(rns/fay)