Jakarta -
Bak jentikan jari Thanos di film Avengers: End Game, lebih dari 5 miliar orang atau kira-kira 63% dari populasi Bumi saat ini, bisa musnah jika perang nuklir skala penuh antara Amerika Serikat (AS), Rusia, dan sekutu mereka terjadi.
Menurut para peneliti, konflik ini akan menciptakan kebakaran luas yang dapat mengeluarkan hingga 165 juta ton jelaga ke atmosfer Bumi, menyebabkan penurunan kapasitas panen di AS dan Rusia yang merupakan pengekspor makanan, dan membuat produksi kalori global anjlok hingga 90%.
Studi yang diterbitkan pada 15 Agustus di jurnal Nature Food ini adalah penelitian terbaru dalam empat dekade yang merupakan studi penting untuk menggambarkan ancaman perang nuklir.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dari sekitar 12.705 hulu ledak nuklir di dunia, Rusia memiliki 5.977, dan AS memiliki 5.428, menurut laporan terbaru Stockholm International Peace Research Institute. Negara dengan hulu ledak nuklir terbanyak ketiga adalah China yang punya 350 hulu ledak, disusul India dan Pakistan masing-masing memiliki 160 dan 165 hulu ledak.
"Perang nuklir skala penuh berpotensi memicu perubahan iklim yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah manusia," kata rekan penulis studi Alan Robock, seorang profesor ilmu iklim di University of Rutgers di New Jersey, dikutip dari Live Science, Selasa (23/8/2022).
"Dalam perang nuklir AS-Rusia, lebih banyak orang akan mati karena kelaparan di India dan Pakistan dibandingkan negara-negara yang benar-benar berperang," sambungnya.
Selanjutnya: Dampak Nuklir dan Skenario Kiamat >>>
Belajar dari Bom Hiroshima-Nagasaki
Efek paling langsung dari perang nuklir, setidaknya bagi mereka yang berada di kota sasaran, sudah umum diketahui melalui sejarah dijatuhkannya bom atom AS "Little Boy" di kota Hiroshima Jepang pada 6 Agustus 1945.
Bom tunggal itu menewaskan sekitar 140 ribu orang dalam waktu lima bulan setelah ledakan dan menghancurkan atau merusak lebih dari 60 ribu dari sekitar 90 ribu bangunan kota.
Enam laporan saksi mata, yang disusun oleh jurnalis John Hersey dan diterbitkan pada tahun 1946, menceritakan kehancuran seketika serangan itu dan akibat yang langsung terjadi.
Pertama, cahaya bom muncul sebagai kilatan yang menyilaukan, tanpa suara, seterang Matahari. Kemudian gelombang kejut tiba, melemparkan mayat-mayat sehingga mereka tertimbun gedung-gedung yang roboh.
Bayangan dari mayat-mayat yang bergelimpangan meninggalkan jejak karena sampai "tercetak" di dinding dan jalan-jalan. Orang-orang yang selamat pun kondisinya mengenaskan. Ledakan itu sampai membuat pakaian terlepas dari tubuh hingga mereka telanjang, kulit mereka terkelupas oleh panasnya ledakan. Mereka panik dan kebingungan berlarian di kota yang luluh lantak.
Setelah 1947, berbagai studi bermunculan untuk mendokumentasikan penderitaan setelah serangan, yang bagi banyak orang akan berlangsung seumur hidup. Kejatuhan radioaktif, produk sampingan dari reaksi fisi nuklir yang menjadi kekuatan dahsyat bom Little Boy, telah menyelimuti daerah itu.
Di Hiroshima dan Nagasaki, yang dibom tiga hari kemudian, peningkatan angka kanker, katarak, dan kondisi kesehatan lainnya bertahan selama bertahun-tahun pada orang-orang yang selamat yang berada dekat dengan episentrum bom.
Namun, dibutuhkan empat dekade lagi bagi para ilmuwan untuk mulai mempelajari dan mendiskusikan dampak paling mematikan dan menakutkan bahkan dari perang nuklir skala kecil.
Skenario Kiamat
Dalam skenario kiamat akibat ulah manusia ini, debu dan asap radioaktif akan menghalangi sebagian besar cahaya Matahari. Dengan turunnya suhu, banyak tanaman dunia diselimuti kegelapan dan mati. Akhirnya, kondisi ini menciptakan kelaparan global dan memusnahkan miliaran orang.
Untuk memodelkan bagaimana peristiwa kiamat ini akan mempengaruhi kemampuan planet untuk mempertahankan kehidupan, para peneliti menghitung jumlah jelaga yang akan dihasilkan dari berbagai skenario berpotensi perang nuklir.
Skenario perang India dan Pakistan di wilayah Kashmir misalnya, diperkirakan menghasilkan 5,5 juta hingga 52 juta ton jelaga tergantung pada skala konflik. Perang nuklir global skala penuh yang melibatkan AS dan Rusia, diperkirakan menghasilkan 165 juta ton jelaga dari kebakaran besar yang tak terhitung jumlahnya dan menutupi langit.
Para ilmuwan memasukkan data ke model National Center for Atmospheric Research (NCAR), alat yang mensimulasikan perubahan sinar Matahari, suhu, dan curah hujan Bumi. Perubahan ini kemudian dimasukkan ke dalam model tanah NCAR yang memberikan rincian terkait pengurangan panen jagung, beras, kedelai, gandum, dan ikan per negara secara dramatis.
Dengan asumsi bahwa perdagangan internasional berhenti dan sumber daya yang tersisa tidak ditimbun, para ilmuwan kemudian menghitung bagaimana perang nuklir akan mengurangi kalori makanan yang diproduksi di seluruh dunia, serta jumlah orang yang akan kelaparan sebagai akibatnya.
Para peneliti menemukan bahwa dalam skenario terburuk perang nuklir antara AS dan Rusia, suhu di permukaan Bumi akan turun sebanyak 16 derajat Celcius, atau lebih dari tiga kali perbedaan suhu antara sekarang dan saat ini, dan 5 miliar orang akan binasa. Dalam perang paling ekstrem antara India dan Pakistan, produksi kalori global bisa turun hingga 50%, menyebabkan 2 miliar kematian.
Daerah yang paling terpukul, menurut para ilmuwan, adalah negara-negara pengimpor makanan di Afrika dan Timur Tengah, Australia dan Selandia Baru. Mereka akan sebisa mungkin menghindari dampak bom yang dijatuhkan di Belahan Bumi Utara dan bergantung pada tanaman gandum yang dapat tumbuh lebih baik di iklim yang lebih dingin.