Pakar telekomunikasi menyebutkan bahwa wacana aturan paket internet fixed broadband minimal 100 Mbps belum saatnya dilakukan oleh pemerintah. Sebab, pemerataan akses internet menjadi hal utama yang perlu diperhatikan.
Sekjen Pusat Kajian Kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi ITB Ridwan Effendi mengatakan dari sisi teknologi untuk menghadirkan kecepatan internet fixed broadband 100 Mbps sudah bisa dilakukan saat ini.
Namun jika itu diatur dan kemudian dibatasi penjualan paket internetnya, maka akan berdampak pada meningkatnya tarif internet fixed broadband. Itu akan menimbulkan persoalan di kemudian hari, khususnya skala ekonomi masyarakat yang membutuhkan internet.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dari sisi teknologi itu sudah memungkinkan. Tapi, masalahnya, persaingan usaha, apakah masyarakat sanggup nggak? Saya saja di rumah itu Rp 600 ribu per bulan untuk mendapatkan 100 Mbps. Apakah masyarakat Indonesia sanggup untuk (minimal) bayar segitu," ujar Ridwan di acara Indotelko, Jakarta, Selasa (30/1/2024).
"Untuk masyarakat di perkotaan itu tidak masalah dengan penghasilan lumayan karena ada kebutuhan untuk 100 Mbps. Untuk pemula mungkin sanggup 50 Mbps dengan biaya lebih murah," sambungnya.
Mantan Komisioner BRTI ini menyoroti agar pemerintah yang dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) untuk fokus pada pemerataan akses internet yang masih jadi pekerjaan rumah.
"Menurut saya belum saatnya. Jadi, sebetulnya yang penting itu pemerataan karena trafik statistik di Indonesia itu dihitung rata-rata. Indonesia sebagai negara kepulauan, ada pengukuran di Jakarta dan di desa mana, jomplang masalahnnya," tutur Ridwan.
Dengan sudah meratanya akses internet di tanah air, kata Ridwan, masyarakat di daerah bisa merasakan layanan internet yang sama dirasakan di perkotaan.
"Yang penting itu, pemerataan (akses internet). Kalau sudah merata walau kecepatannya 30 Mbps kan sudah lumayan kan ya," ucap dia.
Diberitakan sebelumnya, wacana kebijakan ini disampaikan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Budi Arie Setiadi kepada penyedia layanan fixed broadband atau jaringan internet tetap untuk jaringan tertutup. Upaya Budi ini agar kecepatan internet Indonesia bisa bersaing dengan negara tetangga.
Sebelumnya, Ooka merilis laporan Speedtest Global Index pada Desember 2023 bahwa peringkat Indonesia dalam hal internet mobile dan fixed broadband terbilang lambat, baik di dunia maupun Asia Tenggara.
Terdapat dua kategori tipe internet yang diukur oleh Ookla, yaitu internet mobile yang berasal dari layanan seluler dan fixed broadband atau layanan internet melalui saluran kabel.
Untuk kategori internet mobile, kecepatan internet rata-rata Indonesia mencapai 24,96 Mbps yang membuatnya naik tiga peringkat ke posisi ke-97 dari 146 negara di di dunia. Dilihat dari kacamata Asia Tenggara, Indonesia masih belum cukup ngebut internetnya, kalah dari Singapura, Malaysia, Thailand, Laos, Vietnam, Flipina, Brunei, Kamboja. Dan, hanya menang dari Myanmar dan Timor Leste.
Begitu juga di kategori fixed broadband, Indonesia unggul dari Myanmar dan Timor Leste dan keok dari negara lainnya. Per Desember 2023, posisi Indonesia melorot dua peringkat menempati peringkat ke-126 dari 178 negara di dunia.
(agt/fay)