Ribut Live di YouTube Dilarang Jika Gugatan RCTI Menang
Hide Ads

Round Up

Ribut Live di YouTube Dilarang Jika Gugatan RCTI Menang

Tim - detikInet
Jumat, 28 Agu 2020 05:32 WIB
Instagram Live
Foto: dok. Istimewa
Jakarta -

Dua stasiun televisi RCTI dan iNews mendadak jadi perhatian publik setelah mengunggugat UU Penyiaran ke Mahkamah Konstitusi (MK). Keduanya meminta setiap siaran yang menggunakan internet, seperti live di media sosial, seperti YouTube, Instagram, hingga Facebook tunduk pada UU Penyiaran.

Gugatan RCTI tersebut diajukan karena khawatir konten yang muncul di live pada media sosial itu bertentangan dengan UUD 1945 dan Pancasila. Begini round gugatan RCTI terhadap UU Penyiaran.

1. Gugatan RCTI dan iNews

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Permohonan pengujian UU Penyiaran itu ditandatangani Dirut iNews TV David Fernando Audy dan Direktur RCTI Jarod Suwahjo. Mereka mengajukan judicial review Pasal 1 ayat 2 UU Penyiaran yang berbunyi:

Penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran.

ADVERTISEMENT

"Bahwa apabila ketentuan Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran tidak dimaknai mencakup penyiaran menggunakan internet, maka jelas telah membedakan asas, tujuan, fungsi dan arah penyiaran antar penyelenggara penyiaran. Konsekuensinya bisa saja penyelenggara penyiaran yang menggunakan internet tidak berasaskan Pancasila, tidak menjunjung tinggi pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945, tidak menjaga dan meningkatkan moralitas dan nilai-nilai agama serta jati diri bangsa," demikian bunyi alasan judicial review RCTI-iNews TV dalam berkas itu.

2. Terancam Tak Bisa Live di Media Sosial

Dampaknya, apabila gugatan RCTI dan iNews itu dikabulkan oleh MK, maka masyarakat tidak bisa lagi untuk menggunakan fitur live yang ada di berbagai media sosial, sebut saja seperti Instagram, Facebook, TikTok, Twitter, sampai Bigo Live.

"Perluasan definisi penyiaran akan mengklasifikasikan kegiatan seperti Instagram TV, Instagram Live, Facebook Live, YouTube Live, dan penyaluran konten audio visual lainnya dalam platform media sosial diharuskan menjadi lembaga penyiaran yang wajib berizin," ujar Direktur Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika (PPI) Kominfo Ahmad M Ramli.

Dengan demikian, Ramli menyebut adanya kemungkinan menutup siaran pada aplikasi tersebut jika tidak mengajukan izin. Terlebih bila kegiatan dalam media sosial itu dikategorikan sebagai penyiaran, maka perorangan, badan usaha, ataupun badan hukum dikatakannya akan dipaksa memiliki izin menjadi lembaga penyiaran.

"Artinya, kami harus menutup mereka kalau mereka tidak mengajukan izin," ucapnya.

Selanjutnya Ramli mengungkapkan perorangan atau badan usaha yang tidak dapat memenuhi persyaratan perizinan penyiaran itu akan menjadi pelaku penyiaran ilegal. Dengan demikian, aparat penegak hukum akan menertibkan itu lantaran penyiaran ilegal termasuk perbuatan melanggar hukum.

3. RCTI Jadi Trending Topic

Alhasil, Topik RCTI menjadi trending topic papan atas di Twitter Indonesia pada Kamis (27/8/2020). Netizen berbondong-bondong membahas kemungkinan ditutupnya fitur live di media sosial.

Tak sedikit dari netizen tersebut yang memprotes gugatan RCTI terhadap UU Penyiaran.

"Bayangin kalo gugatan RCTI disahkan. Ada orang live di Instagram yg nonton cuma 10 orang, gak punya hak siar terus harus kena pidana. Ntar dipenjara ditanya sama napi senior "kasus apa bro???""Live di IG bos"," sergah seorang netizen soal UU penyiaran itu.

"So instead of being more creative to stay for good in the industry, RCTI decided to be such a big whiner and close down the entire social medias," tulis yang lain, menyebutkan bahwa seharusnya stasiun televisi lebih kreatif daripada ingin membelenggu media sosial.

"RCTI not oke bro," tulis yang lain. "RCTI sebaiknya batalkan gugatan konyol dan tidak penting itu, kenapa tidak meningkatkan diri sendiri?" sebut komentar berikutnya.

Atas polemik UU Penyiaran ini, Ramli menyarankan adanya pembuatan undang-undang baru oleh DPR dan pemerintah yang mengatur sendiri layanan siaran melalui internet.

4. Bisa Nyasar Layanan Video Call Juga

Menurut pengamat media sosial Enda Nasution, dampak yang ditimbulkan dari gugatan RCTI terhadap UU Penyiaran, tidak hanya masyarakat tidak bisa live di YouTube hingga Instagram lagi, tapi bisa lebih luas lagi.

Enda menjelaskan definisi penyiaran yang menggunakan frekuensi publik itu diatur pemerintah, sehingga perlu ada izin dan lain sebagainya. Sedangkan, stream atau live video menggunakan jaringan internet di platform media sosial, tidak termasuk dalam definisi penyiaran yang ada saat ini.

Menurut Enda gugatan RCTI yang sampai menyasar fitur live di media sosial (medsos) dinilai kurang tepat. Bila apa yang dimaksud RCTI dan iNews bahwa penyiaran juga mencakup internet, itu bisa berujung dilarangnya juga layanan video call yang saat ini banyak dipakai masyarakat dalam berkomunikasi.

"Tentunya tidak tepat ya, karena itu tadi live stream di media sosial maupun menggunakan perangkat digital lainnya termasuk dalam definisi-definisi yang sama, kalau video call juga kan bisa-bisa dianggap masuk dalam definisi itu, jadi sudah pasti tidak tepat," tuturnya.

Selain itu, gugatan RCTI ini dinilai tidak mengikuti perkembangan zaman yang mana sekarang sudah masuk ke era digital.

"Bukan masalah kebebasan berekspresi aja ya, tapi juga kemudahan untuk komunikasi, lalu kemudian juga penggunaan video dan live stream untuk bisnis UMKM dan lain sebagainya untuk meeting menggunakan Zoom kan jadi terhambat semuanya," ungkap Enda.

5. Pemerintah Tolak Ide RCTI

Gugatan RCTI dan iNews yang khawatir muncul konten yang bertentangan dengan Pancasila sehingga harusnya tunduk ke UU Penyiaran. Namun usulan yang dijadikan alasan menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) itu ditolak pemerintah. Menurut Kominfo, konten audio video internet tunduk ke UU terkait, seperti UU tentang internet hingga UU Pornografi.

"Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, layanan audio visual OTT tidak serta-merta dapat disamakan dengan kegiatan penyiaran dan tidak dapat dikategorikan sebagai bagian dari penyiaran dalam ketentuan Pasal 1 ayat (2) angka 2 Undang-Undang Penyiaran," kata Dirjen PPI Kominfo, Ahmad Ramli.

Hal itu tertuang dalam risalah sidang MK yang dikutip detikcom, Kamis (27/8/2020). Ahmad Ramli membeberkan perbedaan penyiaran televisi versus video di internet, yaitu:

1. Karena karakteristik utama layanan OTT audio visual adalah layanan yang dapat diakses oleh pengguna layanan melalui jaringan telekomunikasi internet. Berbeda dengan penyiaran, yang merupakan layanan pemancaran dan penerimaan siaran yang membutuhkan kegiatan yang dinamakan pemancar luasan Konten siaran oleh lembaga penyiaran dan diterima secara serentak dan bersamaan melalui perangkat teknologi penerima siaran.

2. Walaupun Konten yang diberikan oleh lembaga penyiaran juga sama dengan Konten yang diberikan oleh layanan audio visual OTT, namun tidak bisa serta-merta dikategorikan sebagai kegiatan penyiaran karena penyelenggara penyiaran adalah push service, sedangkan OTT adalah pull service, di mana pemirsa itu bisa memilih sendiri layanan.

3. Konten bersifat netral sehingga pengaturannya bergantung pada media mana Konten tersebut disalurkan, misalnya film yang ditayangkan pada bioskop tunduk pada aturan perfilman. Jika ditayangkan oleh lembaga penyiaran, maka tunduk pada aturan penyiaran. Sedangkan jika dapat diakses melalui layanan OTT, maka tunduk pada aturan telekomunikasi, internet, Undang-Undang Pornografi, dan lain-lain. Sehingga dalil- dalil Para Pemohon yang meminta tafsir penyiaran dianggap telah dibacakan, sudah sepatutnya ditolak oleh Majelis Yang Mulia.