Bagi mereka yang tinggal di perkotaan, tentu jaringan internet yang stabil merupakan hal biasa dan bukan 'barang mewah'. Sebab sejumlah infrastruktur yang terdapat di perkotaan cenderung lebih komplit sehingga mampu menunjang jaringan internet stabil.
Namun berbeda cerita dengan mereka yang tinggal di daerah non-perkotaan seperti daerah tertinggal, terluar, dan terdepan (3T). Mereka yang tinggal di kawasan tersebut cenderung masih menganggap jaringan internet stabil merupakan hal yang mewah untuk didapatkan.
Pasalnya, mereka butuh usaha lebih keras untuk mendapatkan jaringan internet yang stabil. Hal tersebut dirasakan oleh salah satu pemilik UMKM modifikasi tenun Rambu Ana Intan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Wanita asal di Desa Maubokul, Kecamatan Pandawai, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur ini bercerita sebelum mendapatkan jaringan internet, dirinya harus mendaki perbukitan yang berada di sekitar rumahnya hanya untuk mendapatkan jaringan internet. Perlu diakui, Sumba Timur merupakan kawasan yang mayoritas dikelilingi oleh perbukitan dan savana yang cukup luas.
Menurutnya, situasi tersebut sangat menyulitkan dirinya dan masyarakat lainnya dalam berkomunikasi serta membangun usaha. Pasalnya, hanya untuk berkomunikasi mereka harus mengeluarkan waktu dan usaha yang lebih dibandingkan mereka yang tinggal diperkotaan.
"Jadi dulu setiap sore saya jalan ke bukit hanya untuk mendapatkan sinyal, untuk berkomunikasi," kata Rambu Ana Intan kepada Tim Tapal Batas detikcom di Desa Maubokul, NTT, beberapa waktu lalu.
![]() |
Hal senada pun turut diungkapkan oleh tokoh masyarakat Desa Maubokul, Umbu Nai Hapu. Menurutnya, jaringan internet yang belum masuk membuat masyarakat desa mengalami kesulitan dalam berkomunikasi.
"Tergantung niatnya, kalau tinggal dirumah saja tidak dapat sinyal. Kita butuh naik ke atas pohon baru ada atau ke Kota Waingapu saja kan kota. Kadang naik ke atas pohon dan jalan di bukit (baru dapat sinyal)," kata Hapu.
Dia bercerita sebenarnya jaringan internet sudah masuk ke rumahnya tapi hanya di sejumlah titik-titik tertentu saja dan tidak merata. Sinyalnya pun kadang muncul dan tak jarang hilang begitu saja.
"Dulu kalau mau nelpon harus berdiri di pohon mangga itu, hp nggak boleh nempel ke pipi, kalau nempel ilang sinyalnya," ungkapnya.
Situasi sulit untuk mendapatkan sinyal pun lambat laun terus teratasi dan puncaknya ketika Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informatika (Bakti) Kominfo mendirikan tower Base Transceiver Station (BTS) yang lokasinya tidak jauh dari rumah warga Desa Maubokul.
Dia mengatakan sejak kehadiran tower BTS Bakti Kominfo yang didirikan pada 2021 lalu itu membuat dirinya mendapatkan kemudahan dalam menikmati jaringan internet. Bahkan dirinya, saat ini sudah bisa menikmati jaringan internet sambil rebahan di rumah santai yang dibangun di pekarangan depan rumahnya.
"Ini rumah santai, bisa untuk tiduran main hp nonton YouTube dan WA. Jadi enak sekali untuk WA atau main smartphone enak sekali. Jadi kalau mau lihat keadaan Jakarta ada semua di smartphone," jelasnya.
Kehadiran tower BTS Bakti Kominfo yang berada di Desa Maubokul tidak terlepas dari manfaat yang dihadirkan dari proyek Palapa Ring Timur Telematika. Khusus untuk wilayah NTT, Palapa Ring tersebut menghubungkan antara Waingapu, Sabu, dan Baa.
Khusus untuk Palapa Ring Timur terdapat 95 total jumlah titik Palapa Ring dengan rincian 35 titik akses dan 16 titik interkoneksi. Adapun panjang kabel yang membentang yakni 6.938 km kabel fiber optic.
Tim Monitoring Evaluasi Palapa Ring Timur Bakti Kominfo Ian Nur Maulana mengatakan Paring Timur saat ini sudah memasuki tahap operasional dan pemeliharaan. Pihaknya rutin untuk melakukan perawatan agar jaringan internet bisa disalurkan secara maksimal kepada masyarakat.
"Kehadiran Paring (Palapa Ring) tersebut untuk membantu pemerataan internet. Karena daerah-daerah tersebut, oleh industri swasta dan Internet Service Provider (ISP) lainnya tidak potensi untuk secara komersil," kata Ian Nur Maulana.
![]() |
Paring yang telah dibentang dengan menggunakan kabel bawah laut ini disambung dengan kabel darat di Landing Station berada di Pantai Walakiri Waingapu. Adapun kabel yang dibentangkan membuat suatu kota terhubung dengan daerah lain yang memiliki jaringan internet lebih stabil sehingga terjadinya interkoneksi jaringan internet antar daerah.
Dari landing station, jaringan bakal masuk ke Network Operation Center (NOC) setelah itu bakal disalurkan ke BTS yang menggunakan transmisi microwave. Dari situ, jaringan bakal disebar ke sejumlah BTS lainnya yang berada di Sumba Timur.
Sementara itu Project Management Officer Bakti Kominfo, Muhammad Mujiono mengatakan BTS sendiri ada dua jenis yakni yang menggunakan microwave dan VSAT. Dia menjelaskan, BTS bertransmisi microwave berhubungan dengan Palapa Ring, sementara untuk VSAT terhubung dengan satelit.
"BTS-BTS ini ada 2 sistem transmisi, ada microwave dan VSAT, kalau VSAT ini bisa dibangun di mana aja dengan solar panel, ada listriknya dan langsung terhubung satelit, jadi tidak membutuhkan tower sebagai penghubung," tutup Mujiono.
detikcom bersama Bakti Kominfo mengadakan program Tapal Batas mengulas perkembangan ekonomi, wisata, infrastruktur, wisata, dan teknologi di wilayah 3T setelah adanya jaringan internet di beberapa wilayah terdepan Indonesia. Untuk mengetahui informasi dari program ini ikuti terus berita tentang Tapal Batas di tapalbatas.detik.com!
(anl/ega)