Menyoal Kedaulatan Siber NKRI dalam Kehadiran Starlink
Hide Ads

Menyoal Kedaulatan Siber NKRI dalam Kehadiran Starlink

Anggoro Suryo - detikInet
Jumat, 22 Sep 2023 10:45 WIB
Starlink: Mengapa Elon Musk luncurkan ribuan satelit ke ruang angkasa?
Menyoal Kedaulatan Siber NKRI dalam Kehadiran Starlink. Foto: BBC Magazine
Jakarta -

Layanan internet Starlink yang memanfaatkan low earth orbit (LEO) tak membutuhkan gateway di darat karena memanfaatkan laser Inter Satellite Link (ISL) yang berperan menjadi backbone.

Dalam paparannya di webinar yang diselenggarakan Kajian Terorisme Sekolah Kajian Stratejik Global Universitas Indonesia (SKSG UI) dengan tajuk Kedaulatan Siber Indonesia, Dr. Ir. Mohammad Ridwan Effendi, M.A.Sc., Pengajar Sekolah Teknik Elektro dan Informatika, Institut Teknologi Bandung (ITB), Starlink merupakan satelit orbit rendah dengan lebih dari 4.660 satelit telah diorbitkan hingga saat ini, dari 12.000 satelit yang direncanakan.

Lanjut Ridwan, dengan ISL ini Starlink tak memerlukan gateway di wilayah Indonesia. Padahal dalam aturan perundang-undangan yang berlaku saat ini, untuk layanan satelit di Indonesia, negara wajib memiliki kontrol terhadap gateway dan NOC.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Jika gateway dan NOC tidak berada di teritori Indonesia, maka menurut komite Regulasi Telekomunikasi (KRT) Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), Periode 2012 - 2015, negara tidak memiliki kedaulatan infrastruktur satelit tersebut. Ketika negara tak memiliki kedaulatan, kewenangan negara untuk menjalankan kewajibannya terkait lawful intercept, sebagaimana diatur dalam perundang-undangan tak dapat dilakukan.

"Indonesia sebagai negara berdaulat harusnya bisa memiliki kontrol terhadap ruang digital. Termasuk kontrol atas infrastruktur satelit telekomunikasi. Gateway harus berada di Indonesia karena itu diamanahkan di peraturan perundang-undangan. Gateway tersebut bertujuan untuk menunjukan negara hadir dan menunjukan kedaulatan kita sebagai bangsa Indonesia. Sehingga apapun teknologinya dan siapapun yang menjalankan layanan telekomunikasi di wilayah NKRI wajib memiliki gateway dan NOC di wilayah Indonesia," ucap Ridwan.

ADVERTISEMENT

Agar kedaulatan NKRI terjaga, Ridwan berharap agar pemerintah dan regulator telekomunikasi tak memberikan akses langsung bagi Starlink untuk menjual layanannya langsung ke masyarakat. Mereka harus bekerja sama dengan operator telekomunikasi di Indonesia.

Nantinya Starlink hanya menyediakan backbone atau backhaul bagi operator telekomunikasi nasional yang ingin menggunakan layanan satelit orbit rendah, sehingga masyarakat tetap mendapatkan kualitas layanan terbaik.

"Kerjasama dengan operator lokal merupakan yang paling tepat bagi Starlink agar dapat beroperasi di Indonesia. Sebab gateway dan NOC dikelola operator Indonesia. Sehingga nantinya yang di depan itu operator lokal. Bekerja sama dengan operator lokal, negara masih memiliki kontrol terhadap infrastruktur telekomunikasi. Trust positif yang terus digalakkan pemerintah melalui Kemenkominfo masih dapat berjalan," tambahnya.

Sebenarnya aturan mengenai keharusan operator telekomunikasi asing untuk memiliki lisensi atau bekerja sama dengan perusahaan lokal bukanlah hal yang baru. Komisi komunikasi federal Amerika Serikat (The US Federal Communications Commission) telah mensyaratkan sejak lama bagi perusahaan asing yang akan memberikan layanan telekomunikasi ke pasar Amerika Serikat.

Mereka wajib mengikuti segala perundang-undangan yang berlaku US FCC. Termasuk wajib bekerja sama atau memiliki izin sesuai dengan aturan yang berlaku di Amerika Serikat. Aturan ini menurut US FCC bertujuan untuk menilai risiko keamanan dan kepentingan nasional Amerika.

Lanjut Ridwan, sebagai bangsa yang berdaulat, seharusnya Indonesia tak menganggap remeh terhadap konten yang beredar di jaringan telekomunikasi. Termasuk di jaringan Starlink. Terlebih lagi Starlink ingin mengembangkan bisnisnya di wilayah Papua dan Indonesia Timur.

"Jika Negara tak memiliki kedaulatan dan kontrol atas infrastruktur telekomunikasi di Papua, kemungkinan gerakan sparatis dan KKB ini akan semakin sulit dikendalikan. Karena perangkat Starlink kecil dan nomaden kemungkinan besar KKB dan gerakan sparatis dapat dengan mudah mengakses broadband internet," jelas Ridwan.

Pandangan Ridwan tersebut sejalan dengan policy paper atau rekomendasi kebijakan soal kedaulatan siber yang dibuat Sekolah Kajian Stratejik Global Universitas Indonesia (SKSG UI). Dalam policy paper tersebut SKSG UI berpendapat pontensi ancaman terhadap penggunaan Starlink oleh intelijen asing sebagai alat spionase sangat besar.

Sehingga SKSG UI menilai penyediaan layanan internet oleh Starlink secara langsung kepada masyarakat memunculkan berbagai risiko ancaman terhadap pertahanan dan ketahanan nasional, serta integritas Negara Kesatuan Republik Indonesia. Oleh sebab itu pemerintah dan regulator telekomunikasi di Indonesia harus memitigasi terhadap hadirnya layanan starlink secara langsung di Indonesia.




(asj/afr)