Ketika hal ini ditanyakan kepada Andri Ngaserin, analis saham dari Bahana Sekuritas, jawabannya tidak.
Menurutnya, berdasarkan laporan keuangan yang dipublikasikan emiten telekomunikasi, Telkom melalui anak usahanya Telkomsel masih gencar membangun jaringan telekomunikasi, khususnya broadband.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Andri menilai, pembangunan jaringan telekomunikasi harus dilakukan oleh operator telekomunikasi jika mereka ingin mempertahankan kinerja keuangan dan jumlah pelanggannya. Terlebih lagi jika emiten telekomunikasi ingin meningkatkan jumlah pelanggan data.
Fitch Ratings juga mencatat kebutuhan akan broadband di Indonesia sangatlah tinggi. Dengan tingginya kebutuhan broadband membuat operator telekomunikasi getol menggelontorkan capital expenditure (Capex).
Operator yang saat ini gencar menggeluarkan Capex adalah Telkomsel dan XL. Fitch mencatat rata-rata Capex yang dikeluarkan operator untuk penggembangan jaringan sebesar 20% dari pendapatan mereka.
Menurut Andri, wajar saja operator mengeluarkan banyak banyak dana untuk melakukan investasi untuk menggembangkan layanan data dan digital. Ini disebabkan broadband akan menjadi tulang punggung pendapat emiten telekomunikasi ke depan.
"Nantinya investor hanya akan melirik emiten telekomunikasi yang memiliki komposisi pendapatan data terbesar. Laba bersih Telkom yang mengalami penurunan dikarenakan Telkom dan Telkomsel melakukan investasi yang sangat besar di broadband," terang Andri di Jakarta, Jumat (10/8/2018).
Hingga saat ini emiten yang dinilai Andri memiliki komposisi pendapatan data lebih besar dari legacy adalah XL. Sedangkan Telkomsel dinilai Andri masih mengarah untuk menuju ke layanan data.
Analis ini optimistis dengan investasi Telkom dan Telkomsel yang besar di layanan data, akan membuat komposisi pendapatan mereka berubah dari legacy menjadi ke data dan digital bisnis .
Dari data laporan keuangan Telkom disebutkan bahwa digital Telkomsel mengalami kenaikan signifikan yaitu 17.5%. Jumlah tersebut memegang kontribusi 49.7% dari total pendapatan Telkomsel. Padahal di tahun lalu digital bisnis hanya memegang 39.3% dari total revenue Telkomsel.
"Sedangkan untuk Indosat saya masih belum bisa melihat mereka menuju ke layanan data. Itu disebabkan jaringan mereka yang kurang bagus, karena selama ini mereka melakukan perang harga, Indosat saat ini berat untuk meningkatkan revenue karena jaringannya yang kurang baik. Untuk telpon saja susah apalagi untuk data,"papar Andri.
Islah Perang Harga
Beberapa waktu yang lalu emiten telekomunikasi masih melakukan perang harga di layanan data dan legacy. Tetapi dalam dua bulan terakhir ini Andri melihat perang harga sudah mulai berkurang.
Analis saham ini berharap, di masa mendatang emiten telekomunikasi tidak lagi melakukan perang harga untuk mendapatkan pelanggan. Jika para operator konsisten untuk tidak melakukan perang harga lagi, Andri optimistis margin dan kinerja keuangan mereka akan pulih pada akhir tahun ini.
Dari tiga emiten telekomunikasi yang tercatat di Bursa Efek Indonesia, Telkom melalui Telkomsel masih memiliki average revenue per user (ARPU) Rp 41 ribu. Sementara XL memiliki ARPU Rp 34 ribu dan Indosat hanya Rp 12 ribu.
Dengan mereka tidak melakukan perang harga diharapkan industri telekomunikasi menjadi lebih sehat. Untuk membuat industri telekomunikasi menjadi sehat, Andri berharap tarif data tidak jor-joran lagi.
Bahkan, analis ini menilai jika harga layanan data dinaikkan 10%-20% dapat membantu memenuhi komitmen pembangunan, memperbaiki kinerja keuangan emiten telekomunikasi serta menjaga kualitas serta layanan kepada konsumennya.
"Memang dengan jor-joran tarif emiten telekomunikasi tak akan mampu lagi mempertahankan kualitas dan layanannya. Apalagi untuk mengembangkan jaringan telekomunikasi," pungkas Andri.
Tonton juga 'Jangan Menyalahgunakan NIK untuk Registrasi SIM Card!':
(rou/rou)