Tips Menangkal 'Magis'
Psikolog Aulia Iskandarsyah menilai trik licik penipuan dengan cara rekayasa sosial ini bukan fenomena anyar di Indonesia. "Cuma sekarang makin kreatif (pelakunya). Mengingat saat ini zaman digitalisasi, tambah gencar," kata Aulia.
Dosen Fakultas Psikologi Unpad ini mengungkapkan tipikal korban yang berpotensi terjebak 'magis'. Pertama, korban yang diselimuti kebahagiaan lantaran memperoleh informasi terpilih sebagai pemenang undian atau hadiah. Kedua, orang yang dilanda kepanikan atau kegentingan gegara penipu menyebut keluarga korban mengalami kecelakaan, masuk rumah sakit, atau ditangkap polisi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Penipu berpola 'magis' kerap menyelipkan narasi lisan dan tulisan guna mengaduk-aduk psikologis korban. Menurut Aulia, orang yang mampu mempraktikkan 'magis' ini tentu sudah terasah. Ia menduga modus penipuan model begini pelakunya bersindikat.
"Artinya mereka itu sangat piawai untuk memiliki pengaruh terhadap orang lain. Menggunakan metode dan diksi atau kata-kata dengan cara persuasi. Orang (pelakunya) yang terbiasa, saya duga jejaring," ucap peraih Sarlito Wirawan Sarwono (SWS) Awards 2019.
"Sasarannya orang yang kurang pengetahuan. Selain itu, dia (pelaku) membuat kesan kepanikan agar kemampuan berpikir rasional orang menurun, misalnya memberikan info kecelakaan, kedaruratan, atau ditangkap polisi. Dalam situasi berpikir genting, orang (korban) merespons segera tanpa berpikir rasional," kata Aulia menambahkan.
Aulia berbagi tips menepis 'magis' penjahat siber. "Pertama, kita harus memiliki pengetahuan. Artinya selalu menambah informasi dan pengetahuan. Kedua, tetap tenang dan usahakan kroscek semua informasi. Metoda kroscek informasi bisa berbagai hal, misalnya mandiri browsing apakah ada program undian dari pihak penyelenggara, lalu cara lainnya bertanya kepada orang lebih tahu," tuturnya.
"Ketiga, ini terpenting yaitu tetap rasional. Intinya kontrol seseorang itu rasionalitas. Kita harus tenang, jangan terbawa emosional sehingga kita tetap rasional," ujar Aulia.
Menurut laporan We Are Social, pada 2020 tercatat 175,4 juta pengguna internet di Indonesia. Ada kenaikan 17 persen atau 25 juta pengguna internet di negeri ini dibandingkan tahun sebelumnya. Berdasarkan total populasi Indonesia berjumlah 272,1 juta jiwa, artinya 64 persen setengah penduduk Indonesia telah merasakan akses ke dunia maya.
Pusat Operasi keamanan Siber Nasional (Pusopskamsinas) Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) merilis rekapitulasi jumlah serangan siber yang terjadi pada periode 1 Januari hingga 12 April 2020. Tercatat ada 88.414.296 serangan siber di Indonesia. Jenis serangan siber pun beragam, mulai dari malicious email phising, web defacement hingga malicious software (malware).
Semua pengguna internet, menurut Aulia, rentan menjadi korban kejahatan rekayasa sosial di tengah meningkatnya transaksi online. "Menghindarinya, kita tak bisa. Tapi yang harus dilakukan ialah tetap waspada dan rasional," katanya.
Aulia mengingatkan ada dua hal yang harus dimiliki manusia di tatanan kehidupan dunia yang serba digital saat ini. Sehingga, ia menegaskan, rekayasa sosial bermuatan negatif yang dilakoni penjahat siber dapat diantisipasi.
"Literasi dan etika digital. Literasi digital ini bagaimana agar kita mencari dan menerima informasi yang valid. Etika digital ini lebih kepada mengolah dan menyampaikan informasi," ujar Aulia.
Centre for Digital Society (CfDS) Universitas Gadjah Mada (UGM) menyebutkan pentingnya literasi digital untuk membentengi publik pengakses internet dan platform digital. Pasalnya, semakin banyaknya pelaku usaha yang bermigrasi ke online, penjahat 'magis' ini mengincarnya.
"Sangat penting untuk melakukan edukasi yang terus menerus dan konsisten, supaya individu serta para pelaku usaha pengguna teknologi bisa memahami dan menghindari tipe penipuan seperti ini," kata peneliti CfDS UGM Tony Seno Hartono dalam diskusi daring bersama Gojek.
Tony mengungkapkan teknik 'magis' marak dilakoni penipu saat masa pandemi. Pelakunya memperdaya pengguna platform digital yang minim kewaspadaan selagi bertransaksi daring. Akibat 'magis' yang dilancarkan pelaku, korban memberikan informasi nomor rekening, PIN kartu ATM dan password.
"Pengetahuan yang minim mengenai keamanan daring, memperbesar potensi kejahatan penipuan berteknik memanipulasi psikologis (magis). Teknik ini sifatnya sederhana, tidak perlu meretas sistem namun dampaknya luar biasa. Kami mengamati selama masa pandemi penipuan jenis ini tetap ada dan cenderung meningkat," tutur Tony.
Langkah edukasi sebenarnya rajin digulirkan pemerintah serta penegak hukum. Tujuannya agar pengguna internet dan warga bertransaksi online di Indonesia mewaspadai kejahatan siber.
Kominfo, BSSN, dan Polri, misalnya, tidak diam diri menyebarluaskan teks, audio visual hingga infografis melalui akun media sosialnya mengenai tips menangkal aneka modus penjahat digital. Pihaknya mewanti-wanti pengguna platform digital tidak memberikan kode rahasia atau OTP kepada pihak manapun, dan jangan mudah tergiur diskon atau hadiah besar yang justru hal itu hanya umpan untuk memperoleh data pribadi.
Peringatan keras pun ditujukan kepada pelaku penipuan. "Buat yang suka kirim SMS undian abal-abal, pura-pura jadi customer service terus minta uang, pura-pura jadi ojol terus minta transfer saldo, siap-siap dipenjara (maksimal) 20 tahun. Dasar hukum: Pasal 28 (1) UU ITE, Pasal 378 KUHP, Pasal 82, 85 UU Transfer Dana, Pasal 3,4,5,10 UU TPPU," tulis akun Instagram @ccicpolri.
Selanjutnya: Jurus JAGA...