Persiapan Perang Dunia III, Makanan Super Perlu Dibudidayakan
Hide Ads

Persiapan Perang Dunia III, Makanan Super Perlu Dibudidayakan

Rachmatunnisa - detikInet
Rabu, 25 Jun 2025 13:32 WIB
Ilustrasi Perang.
Ketika ketegangan terus meningkat, pembicaraan tentang Perang Dunia III semakin umum di seluruh dunia. Banyak orang mencari pasokan pangan yang lebih 'tangguh'. Foto: Freepik
Jakarta -

Ketika ketegangan terus meningkat di seluruh Timur Tengah dan Eropa, pembicaraan tentang Perang Dunia III menjadi semakin umum di seluruh dunia.

Kekhawatiran akan 'kiamat' akibat perang nuklir yang diikuti kekurangan pangan global, membuat banyak orang mencari pasokan pangan yang lebih 'tangguh'. Menurut ahli, salah satu solusi potensial mungkin bersembunyi di bawah laut.

Meskipun dampak langsung perang nuklir, asteroid, atau letusan gunung berapi yang besar tidak dapat disangkal sangat dahsyat, dampak setelahnya dapat terus menyebabkan kerusakan yang meluas jauh setelah dampak awal.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dalam kasus perang nuklir, ledakan berskala besar mengirimkan sejumlah besar abu ke atmosfer, menutupi Matahari, dan menyebabkan situasi yang disebut musim dingin nuklir. Tanpa banyak sinar Matahari, banyak tanaman akan mati, yang mengancam persediaan makanan di seluruh dunia.

Rumput Laut Makanan Super

Namun, beberapa makanan mungkin lebih tahan lama daripada yang lain, sehingga disebut makanan super. Salah satunya adalah rumput laut yang merupakan sumber nutrisi, serat, protein, dan lemak sehat yang kaya.

ADVERTISEMENT

Rumput laut dapat tumbuh dengan cepat di berbagai lingkungan. Menurut penelitian dari Alliance to Feed the Earth in Disasters, Louisiana State University, University of the Philippines Marine Science Institute, dan University of Canterbury, rumput laut juga cukup tahan lama untuk bertahan hidup dan tumbuh subur di lautan tropis bahkan setelah perang nuklir besar-besaran.

Dalam sebuah penelitian terkini, yang diterbitkan dalam jurnal Earth's Future, tim tersebut membangun sebuah model pertumbuhan berdasarkan spesies rumput laut yang disebut Gracilaria tikvahiae. Dengan menggunakan model ini beserta prediksi iklim yang tersedia, tim tersebut dapat mensimulasikan bagaimana pertumbuhan rumput laut dapat berubah setelah peristiwa global yang merugikan seperti perang nuklir.

Tim menemukan bahwa, bahkan dengan karbon hitam di atmosfer, tanaman air ini masih bisa mendapatkan cukup sinar Matahari untuk berfotosintesis. Berdasarkan model mereka, pertumbuhan rumput laut dapat ditingkatkan hingga menyediakan hingga 45% pasokan pangan dunia hanya dalam waktu sembilan hingga 14 bulan. Para penulis penelitian menyatakan bahwa pertumbuhan rumput laut sebenarnya dapat meningkat setelah perang nuklir karena lebih banyak nutrisi tersedia di lautan.

Tentu saja, ada kemungkinan rumput laut menyerap zat-zat beracun dari lingkungan sekitarnya. Namun, para peneliti mengatakan bahwa senyawa-senyawa ini dapat dikurangi hingga ke tingkat yang aman melalui pemrosesan pasca panen dan pemasakan.

"Misalnya, pemrosesan pasca panen dan persiapan pra konsumsi, seperti pencucian dan pengeringan, reaksi enzimatik, dan blansing atau pemasakan, antara lain, telah ditemukan dapat mengurangi konsentrasi yodium dan logam berat dalam rumput laut secara signifikan," kata Michael Roleda, seorang profesor di University of the Philippines Marine Science Institute dan salah satu penulis penelitian tersebut, seperti dikutip dari SciDev.

Tantangan utamanya, kata penulis, adalah membangun peternakan rumput laut baru yang cukup cepat untuk memenuhi permintaan.

"Berinvestasi dalam pembangunan pertanian rumput laut dapat mencegah bencana kelaparan global dalam skenario penurunan sinar Matahari secara tiba-tiba, dan berpotensi mencegah sejumlah besar kematian akibat kelaparan," kata David Denkenberger, profesor madya teknik mesin di University of Canterbury, Inggris.

Bahkan tanpa adanya bencana global, rumput laut menawarkan sumber makanan yang berkelanjutan dan tangguh dalam menghadapi perubahan iklim, menyerap lebih banyak karbon daripada pohon dan menghindari gangguan habitat di darat.

"Budidaya rumput laut dalam skala yang jauh lebih besar daripada saat ini dapat memerangi perubahan iklim, sekaligus membuat sistem pangan jauh lebih tangguh dalam menghadapi skenario penurunan sinar Matahari secara tiba-tiba," kata para penulis.




(rns/rns)