Menguak Psikologi Tersembunyi dalam Proses Mencoblos
Hide Ads

Menguak Psikologi Tersembunyi dalam Proses Mencoblos

Rachmatunnisa - detikInet
Kamis, 15 Feb 2024 17:45 WIB
FILE - A sign that says
Foto: AP Photo/Lynne Sladky, File
Jakarta -

Pemungutan suara dilakukan berdasarkan keputusan yang rasional? Belum tentu. Menurut sebuah penelitian, kita mungkin tidak bisa mengendalikan preferensi kita.

Reaksi kita, tanpa disadari mungkin mengungkapkan lebih banyak hal tentang kita sendiri, bahkan mungkin mengungkapkan kecenderungan politik kita.

"Kita mungkin tidak bisa mengendalikan suara kita sendiri seperti yang kita pikirkan, menurut banyak psikolog. Pendidikan, layanan kesehatan, dan perekonomian merupakan hal yang penting, namun pilihan pemilih juga dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor mulai dari seberapa mudahnya orang merasa takut atau jijik, hingga bagaimana mereka bereaksi terhadap cuaca," tulis Zaria Gorvett, jurnalis senior dan pemenang penghargaan BBC Future.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pengambilan Keputusan

Keputusan sadar kita secara rutin dipengaruhi oleh proses berpikir bawah sadar, emosi dan prasangka. Jon Krosnick, profesor ilmu politik di University of Stanford, mengabdikan karirnya meneliti fenomena ini.

"Apa yang kita ketahui dari ilmu psikologi adalah Anda dapat membagi otak menjadi dua bagian. Faktanya, semua pengambilan keputusan dilakukan secara tidak sadar," kata Krosnick seperti dikutip dari BBC.

ADVERTISEMENT

Krosnick berpendapat bahwa selama acara debat yang disiarkan televisi, meskipun para pemilih mendengarkan para kandidat, ada faktor-faktor lain yang bisa mempunyai dampak yang sama besarnya, atau bahkan lebih besar, terhadap keputusan para pemilih.

Ia mengambil contoh Pilpres AS tahun 2008. Krosnick dan rekan-rekannya menemukan bahwa pada pemilu, banyak pemilih lebih dipengaruhi oleh etnisitas para kandidat, yakni Barack Obama dan John McCain. Orang-orang dengan skor prasangka rasial implisit yang lebih tinggi, yang secara tidak sadar mereka miliki, lebih kecil kemungkinannya untuk memilih Obama.

Rasa Jijik

Yoel Inbar, seorang profesor psikologi di University of Toronto, mempelajari hal tersembunyi lain yang mungkin mempengaruhi pilihan kita, yaitu melalui hal-hal yang memicu perasaan jijik.

Penelitian Inbar menempatkan partisipan yang diuji pada 'skala jijik', meminta partisipan menilai persetujuan mereka terhadap pernyataan dan situasi yang menjijikkan hingga menyayat hati. Kemudian, subyek kemudian ditanyai tentang ideologi politik mereka. Ia menemukan bahwa mereka yang lebih mudah merasa jijik cenderung konservatif secara politik

"Pada dasarnya kami memiliki data yang bagus di setiap wilayah di dunia kecuali Afrika Sub-Sahara. Dan kami melihat hubungan yang cukup konsisten", kata Inbar.

Inbar percaya bahwa hubungan politik dan moral dengan rasa jijik dan penyakit dapat dijelaskan oleh beberapa kondisi biologi masa prasejarah.

Ketika orang-orang mulai menghabiskan lebih banyak waktu dalam kelompok sosial yang besar, mereka mengembangkan serangkaian perilaku yang akan meminimalkan risiko tertular penyakit, yang oleh para psikolog disebut sebagai 'sistem kekebalan perilaku'.

Mood Saat Memilih

Penelitian lain menunjukkan bahwa perasaan kita pada hari itu mungkin juga berpengaruh. Sebuah studi menemukan bahwa membuat orang berpikir tentang penyakit, dapat mendorong mereka berpikir negatif tentang perbedaan ras.

Demikian pula, sebuah penelitian di AS pada tahun 2014 menemukan bahwa orang-orang yang merasa tidak enak badan lebih cenderung memilih kandidat yang menarik dibandingkan lawan mereka yang kurang menarik secara fisik.

"Sikap yang berasal dari sistem kekebalan perilaku adalah hal-hal yang cenderung kita anggap konservatif secara sosial," kata Inbar.

"Hal-hal tersebut adalah tentang menghindari kelompok yang tidak Anda kenal, tentang mengikuti praktik sosial tradisional, dan tentang pembatasan seksual. Jijik adalah emosi yang benar-benar mengatakan 'hei jangan lakukan itu, jauhi itu, itu berbahaya bagimu'," ujarnya.

Menariknya, dalam eksperimen lain, Inbar dan rekannya menemukan bahwa membuat orang merasa jijik seperti menggunakan bau tak sedap di dalam ruangan, membuat mereka untuk sementara lebih cenderung menjauhi kelompok minoritas tertentu, misalnya kaum homoseksual.

Implikasinya adalah bahwa kampanye politik dan komentar media yang menggunakan pemicu rasa jijik, misalnya mengatakan kebijakan 'kotor', mungkin memiliki pengaruh yang lebih besar terhadap sebagian orang.

Selanjutnya: Rasa Takut hingga Cuaca Pengaruhi Pemilih

Ketakutan yang Kuat

Sebuah studi mengenai dampak 'sensitivitas rasa takut' terhadap ideologi politik menunjukkan kesimpulan serupa. Sebanyak 46 orang partisipan dari Nebraska ditanyai tentang pandangan mereka mengenai berbagai isu politik, mulai dari perang Irak hingga hukuman mati. Mereka yang mempunyai pendapat kuat diundang untuk melanjutkan ke tahapan kedua.

Selanjutnya para relawan diperlihatkan serangkaian gambar yang mengancam, seperti seorang pria ketakutan dengan laba-laba di wajahnya, dan dikejutkan dengan suara keras saat mereka dinilai respons fisiologisnya terhadap rasa takut, seperti seberapa konduktif kulit mereka.

Para peneliti menemukan bahwa orang-orang yang lebih mudah terkejut dalam kelompok tersebut cenderung memiliki pandangan yang lebih mengarah ke sayap kanan, hal ini sejalan dengan pola yang muncul dari kaum konservatif yang lebih sensitif terhadap aspek-aspek negatif lingkungan.

"Jadi, mungkin retorika politik yang memicu rasa takut, yang menekankan risiko terorisme, ketidakstabilan ekonomi, dan sebagainya, dapat memiliki dampak yang halus namun kuat pada beberapa kelompok masyarakat ketika digunakan untuk mencoba dan mempengaruhi perolehan suara," ujarnya.

Bias Negatif

Bias bawah sadar lainnya yang kerap dieksploitasi oleh kampanye politik, salah satu dampaknya adalah apa yang disebut ' bias negatif', yaitu kecenderungan orang-orang yang lebih suka mengingat informasi negatif, dan membiarkan emosi negatif mendominasi pengambilan keputusan.

Penelitian Krosnick menunjukkan bahwa ketika politisi menekankan kualitas negatif lawannya, hal ini dapat meningkatkan jumlah pendukungnya.

Pada tahun 1990an, ia mempelajari bagaimana perasaan masyarakat terhadap politisi mempengaruhi kemungkinan mereka untuk memilih. Seperti yang bisa diduga, ia mendapati bahwa rasa menyukai kedua kandidat sama-sama memberikan sedikit motivasi untuk memilih.

Meskipun pemilih tidak menyukainya, mereka tetap tidak terlalu tertarik. Sebaliknya, rasa tidak suka adalah alasan yang jauh lebih kuat untuk memberikan suara.

"Jika Anda tidak menyukai setidaknya salah satu dari dua kandidat, maka Anda benar-benar termotivasi untuk berpartisipasi. Jadi dengan kata lain, ketidaksukaan terhadap seorang kandidat itulah yang memotivasi jumlah pemilih," kata Krosnick.

Pengaruh Cuaca

Keputusan yang didasarkan pada emosi negatif juga bisa berdampak sebaliknya. Semakin banyak bukti yang menunjukkan bahwa para pemilih secara tidak sadar menghukum para politisi ketika segala sesuatunya tidak berjalan sesuai keinginan mereka, bahkan untuk isu-isu yang sama sekali tidak berkaitan dengan politik.

Kebiasaan pemilih yang tidak menentu ini tergambar jelas dalam pemilu antara Al Gore dan George W Bush pada tahun 2000. Pemilu ini diikuti oleh serangkaian kekeringan dan banjir yang parah, yang membuat ilmuwan politik Larry Bartels dan Christopher Achen bertanya-tanya: apakah para pemilih akan menyalahkan kesialan mereka? Petahana dari Partai Demokrat?

"Analisis terhadap pola pemungutan suara dan cuaca di 54 negara bagian menunjukkan bahwa jumlah pemilih di negara bagian tersebut turun 3,6% dibandingkan biasanya. Sebanyak 2,8 juta orang memilih menentang Al Gore pada tahun 2000 karena negara bagian mereka terlalu kering atau terlalu basah," ujarnya.

Jika pola pemungutan suara bisa berasal dari bias yang tidak disadari, apakah hal itu mengurangi validitasnya? "Ini pertanyaan yang menarik", kata Inbar.

"Jika saya bisa menjelaskan mengapa Anda menyukai es krim, apakah Anda salah jika menyukai es krim? Secara individu, saya rasa tidak. Namun, sangat penting untuk menyadari faktor-faktor yang mungkin memicu bias tersembunyi Anda, saat Anda memberikan suara di kotak suara," tulisnya.