Pertama di Dunia, COVID-19 Bermutasi di Bayi Baru Lahir
Hide Ads

Pertama di Dunia, COVID-19 Bermutasi di Bayi Baru Lahir

Rachmatunnisa - detikInet
Rabu, 03 Mar 2021 06:16 WIB
Ilustrasi bayi baru lahir
Pertama di Dunia, COVID-19 Bermutasi di Bayi Baru Lahir. Foto: ThinkStock
Jakarta -

Untuk pertama kalinya di dunia, COVID-19 dilaporkan bermutasi di tubuh bayi baru lahir. Bayi ini lahir dari seorang wanita dengan status suspect COVID-19.

Para dokter melakukan operasi caesar darurat untuk melahirkan bayi tersebut. Hasil tes darah bayi malang ini memastikan kadar oksigennya rendah. Dokter juga melakukan uji swab tenggorokan dan hasilnya menunjukkan bahwa ibu dan bayinya terjangkit COVID-19.

Dikutip dari Science Alert, dengan menggunakan swab tenggorokan dari ibu dan bayi baru lahir tersebut, genom virus diurutkan untuk memastikan kemungkinan bayi telah terinfeksi COVID-19 saat masih dalam kandungan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Genom virus pada ibu dan bayinya identik. Karena bayi diisolasi dari ibunya langsung setelah operasi caesar dan tidak bersentuhan dengan anggota keluarga lain saat tes ini dilakukan, temuan tersebut memastikan bahwa bayi tersebut memang terinfeksi sebelum dilahirkan," tulis Mehreen Zaigham, peneliti Pascadoktoral, Obstetric & Gynecology, SkΓ₯ne University Hospital, Lund University dalam laporannya.

Namun, lanjutnya, beberapa hari kemudian, sekuensing genetik baru menunjukkan bahwa populasi virus bayi telah berubah dan mengandung versi virus yang bermutasi bersama dengan strain virus asli dari induknya.

ADVERTISEMENT

"Sepengetahuan kami, ini adalah kasus pertama dari perubahan genetik virus Corona dalam pengaturan unik penularan dari ibu ke janin sebelum lahir," ujarnya.

Meski virus biasa bermutasi, mutasi ini (disebut A107G) nyatanya terjadi hanya lima hari setelah bayi lahir. Perubahan genetik mungkin telah dirangsang oleh bayi yang bersentuhan dengan lingkungan luar di luar rahim ibu. Namun sangat mengejutkan mengetahui betapa cepatnya mutasi tunggal ini terjadi.

"Temuan terpenting adalah perubahan yang kami lihat di plasenta. Plasenta membawa darah dan nutrisi ke janin dan membuang limbah dan sangat penting untuk pertumbuhan dan kesejahteraan janin. Kami menemukan bahwa separuh jaringan rusak," ungkap Zaigham.

Dijelaskannya, terjadi peradangan yang meluas, dan ditemukan protein virus Corona dari sisi ibu dan janin di plasenta. Penelitian ini juga menemukan protein virus Corona ada di semua area yang rusak akibat peradangan.

Sang ibu sembuh dengan cepat dari infeksi COVID-nya dan dipulangkan empat hari setelah melahirkan. Tetapi bayinya membutuhkan perawatan neonatal karena ia lahir prematur di minggu ke-34 kehamilan.

"Bayi tersebut mengembangkan antibodi untuk melawan virus dan tidak memiliki gejala yang parah setelah melahirkan. Oleh karena itu, sistem kekebalan bayi sendirilah yang menetralkan virus karena kami tidak menemukan antibodi apa pun dalam ASI ibu," jelas Zaigham.

Kasus langka

Studi yang diterbitkan di The British Journal of Obstetrics and Gynecology ini adalah satu di antara segelintir makalah ilmiah yang menyelidiki penularan virus Corona melalui plasenta.

Penelitian sebelumnya, ada yang melaporkan kegagalan plasenta yang cepat dan irama jantung janin yang abnormal, serupa dengan ditemukan pada studi terbaru ini. Namun, dengan ribuan wanita hamil yang terinfeksi di seluruh dunia, penularan dari ibu ke bayi di dalam rahim tampaknya menjadi komplikasi COVID-19 yang jarang terjadi selama kehamilan.

Para ilmuwan mengira hal ini karena penghalang plasenta yang melindungi bayi di dalam rahim dari sebagian besar infeksi. Selain itu, reseptor vital yang diperlukan untuk masuknya virus Corona ke dalam sel, yang disebut reseptor ACE-2, hanya ada di tingkat rendah di plasenta.

Dalam kasus yang jarang terjadi, virus Corona dapat merusak plasenta, yang menyebabkan kekurangan oksigen pada bayi yang belum lahir, bahkan jika sang ibu memiliki kasus COVID-19 ringan di akhir kehamilan.

"Temuan kami menunjukkan bahwa mungkin kami harus memikirkan kembali bagaimana memantau wanita hamil yang mengidap COVID-19, dan mereka harus dianggap sebagai kelompok risiko yang lebih penting daripada yang kita lakukan saat ini," tutupnya.




(rns/afr)