Remdesivir adalah obat antivirus satu-satunya yang disetujui di Amerika Serikat untuk COVID-19. Namun studi terbaru menunjukkan obat ini gagal mencegah kematian di antara para pasien COVID-19.
Dari studi yang disponsori Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada lebih dari 11 ribu orang di 30 negara, Remdesivir dinyatakan kurang berhasil mencegah kematian.
Remdesivir pada awalnya dikembangkan sebagai pengobatan untuk Ebola dan hepatitis C dengan cara mengganggu reproduksi virus. Obat tersebut kemudian diizinkan oleh Food and Drug Administration (FDA) pada 1 Mei setelah percobaan oleh National Institutes of Health, yang menemukan bahwa remdesivir mempercepat waktu pemulihan pasien COVID-19 yang sakit parah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Studi WHO mengamati lebih dari 11.300 orang dewasa dengan COVID-19 di 405 rumah sakit di 30 negara. Para peserta diberi empat obat secara tunggal atau kombinasi: remdesivir, hydroxychloroquine, lopinavir, interferon atau interferon plus lopinavir. Sekitar 4.100 tidak menerima perawatan obat.
Pada akhirnya ditemukan tidak ada obat atau kombinasi yang mengurangi mortalitas, kemungkinan diperlukannya ventilator, atau waktu yang dihabiskan di rumah sakit, dibandingkan dengan pasien tanpa perawatan obat.
"Hal ini sudah bisa dipastikan, sudah pasti tidak ada manfaat terhadap (pencegahan -- red) kematian," kata Dr Ilan Schwartz, dokter penyakit menular di University of Alberta, Kanada.
Tetapi Dr Peter Chin-Hong, seorang ahli penyakit menular di Universitas California, San Francisco, mengatakan angka kematian tidak bisa serta merta ditentukan oleh sebuah obat.
"Begitu banyak yang harus diperhatikan. Obat itu hanya sebagian saja," ujar Dr Chin-Hong.
Dr Maricar Malinis, dokter penyakit menular di Yale University juga menuturkan bahwa masih ditemukan manfaat dari obat Remdesivir dalam pengobatan mereka yang terpapar SARS-CoV-2, terutama pasien yang masih di tahap awal.
COVID-19 yang parah sebagian besar didorong oleh respons kekebalan yang terlalu berlebihan yang dimulai beberapa hari setelah virus menginfeksi tubuh. Sebelum itu terjadi, antivirus bisa melindungi orang dari tingkat keparahan yang lebih. Demikian melansir New York Times, Jumat (16/10/2020).
(ask/fay)