4 Cara Berdialog dengan Kaum 'Anti Vaksin'
Hide Ads

4 Cara Berdialog dengan Kaum 'Anti Vaksin'

Aisyah Kamaliah - detikInet
Kamis, 24 Sep 2020 22:15 WIB
Vaccine and syringe injection It use for prevention, immunization and treatment from COVID-19
Ilustrasi vaksin corona. Foto: Getty Images/iStockphoto/kiattisakch
Jakarta -

Di tengah pandemi COVID-19, ada saja orang yang menolak melakukan vaksinasi. Ini semua bisa terjadi karena kurangnya informasi yang diterima.

Isu antivaksin sebenarnya sudah lama bergaung, tidak hanya untuk vaksin corona, ada yang sejak dulu meragukan pentingnya imunisasi. Bagaimana untuk membuka dialog dengan orang yang menolak vaksin? Berikut tipsnya dikutip dari Healthy Debate.

1. Berhenti berpikir orang yang tidak divaksin adalah antivaksin

"Antivaksin adalah sebuah momok. Itu karakter dalam sebuah narasi. Kita sering membesar-besarkan tingkat masalah itu," ungkap Joshua Greenberg, Director of the School of Journalism and Communication di Carleton University dan peneliti yang lama mendalami mengenai isu ini.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sebuah studi yang dipimpin oleh Greenberg mengamati sikap 1.000 orang Kanada, dan menemukan bahwa meski 92% berpendapat bahwa vaksin itu aman dan efektif, banyak dari mereka juga mengkhawatirkan. 27% khawatir vaksin dapat menyebabkan bahaya serius bagi anak-anak mereka, dan 33 persen berpikir bahwa industri farmasi bertanggung jawab untuk mendorong vaksinasi wajib. 28% takut tentang hubungan antara autisme dan vaksin, meskipun fakta bahwa kaitan apa pun tidak terbukti.

2. Gunakan bahasa yang sesuai

"Ada beberapa teknik yang sangat umum yang digunakan para penyangkal sains (dan dicerna oleh orang tua)," ungkap Cornelia Betsch, psikolog Jerman yang mempelajari mengapa orang memilih untuk tidak divaksin.

ADVERTISEMENT

"Salah satunya adalah ekspektasi palsu -- mereka menuntut keamanan 100 persen, dan tidak ada yang 100 persen aman di bumi. Mereka juga memilih: beberapa orang anti-vaksinasi mengumpulkan bukti dari penelitian, mereka memilih hal-hal tertentu dari bagian pembatasan penelitian, dan mereka tidak memasukkannya ke dalam konteks. Dan mereka menghilangkan konsensus besar tentang penelitian," sambungnya.

Sebuah tinjauan oleh Betsch menemukan ketika dihadapkan pada argumen seperti ini, ada sebuah teknik yang dapat membantu. Sebuah uji coba secara acak menemukan bahwa memberi tahu orang-orang "90% ilmuwan medis setuju bahwa vaksin itu aman dan semua orang tua harus memvaksinasi anak-anak mereka," secara signifikan mengurangi kekhawatiran mereka tentang vaksin dan keyakinan akan adanya hubungan antara vaksin dan autisme.

3. Berikan konfirmasi pada hal yang bias, bukan mendebatnya

Menjelaskan cara kerja herd immunity atau kekebalan kelompok meningkatkan kesediaan orang untuk menjalankan imunisasi.

"Ini menambah nilai ekstra. Jika kamu tahu tentang manfaat individu, kamu juga harus belajar tentang manfaat sosial," tutur Betsch.

Ada juga beberapa bukti yang menunjukkan keberhasilan penyampaian informasi dengan menekankan dampak negatif dari penyakit, dibandingkan membahas keamanan vaksin. Sebuah studi tahun 2015 yang menunjukkan foto kepada orangtua tentang anak-anak yang menderita gondongan, campak atau rubella dan deskripsi orang tua tentang penyakit anak ini bekerja lebih baik daripada berbagi informasi yang menyanggah gagasan vaksin tidaklah aman.


4. Bangun kepercayaan

Tenaga medis memegang kunci dalam peran ini. Ada sebuah kasus di mana seorang ibu yang baru melahirkan dan berdiskusi dengan seorang dokter mengenai informasi seputar vaksin. Dokter ini tidak memaksakan vaksin pada orangtua itu dan biarkan ibu itu memilih untuk opsi apapun.

Akhirnya, ibu tersebut merasa dihargai dan keputusannya dianggap penting. Ia pun meminta sang dokter untuk mengimunisasi anaknya yang baru lahir dan buah hatinya yang lain.

Nah, detikers, intinya adalah tidak menghakimi dan saling berbagi informasi. Dengan begitu, tidak ada orang yang merasa terpojokkan dan dipojokkan dengan tuduhan 'antivaksin'.

Halaman 2 dari 2
(ask/ask)