Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) mengungkapkan bahwa guna menjaga kepentingan nasional, maka pemerintah wajib membuat regulasi Over The Top (OTT) seperti Google, Facebook, Instagram, TikTok maupun WhatsApp.
Sekjen APJII Zulfadly Syam mengatakan, saat ini infrastruktur digital yang dibangun oleh operator telekomunikasi di Indonesia sudah tersebar. Berdasarkan survei APJII 2024, penetrasi internet di Indonesia sudah mencapai 79,50%.
Namun, Zulfadly prihatin, penetrasi internet yang sangat tinggi ini masih dinikmati oleh penyedia layanan OTT asing. Bahkan, yang menikmati infrastruktur yang dibangun oleh operator telekomunikasi nasional anggota APJII tersebut merupakan OTT asing yang belum memiliki infrastruktur atau entitas hukum tetap di Indonesia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Zulfadly, maraknya OTT yang beroperasi di Indonesia ini lantaran regulasi yang dibuat pemerintah terhadap industri digital dan penguatan ekosistemnya terbilang sangat lemah. Kelemahan ini menciptakan permasalahan baru yang sampai saat ini tidak diantisipasi pemerintah.
Zulfadly kemudian memberi contoh, hingga saat ini OTT asing yang melakukan kegiatan usaha di Indonesia tidak memberikan kontribusi kepada negara, seperti tidak membayar pajak. Mereka hanya sekadar mendaftarkan perusahaannya sebagai penyelenggara sistem elektronik.
"OTT adalah satu lapisan saja dari arsitektur digital. OTT asing berkembang di Indonesia karena infrastruktur internet sudah dikembangkan anggota APJII. OTT asing hanya melewati infrastruktur tanpa memberikan kontribusi apa pun, baik untuk anggota APJII maupun negara," kata Zulfadly dikutip dari pernyataan tertulisnya, Rabu (23/7/2025).
Lebih lanjut Zulfadly mengatakan, saat ini fokus utama anggota APJII adalah meningkatkan pemerataan internet dan meningkatkan kualitas internet Indonesia. Saat ini kemampuan mengakses OTT asing adalah sesuatu hal yang diinginkan masyarakat setelah melek internet.
Jika pemerintah tidak memiliki konsep yang kuat terhadap OTT, menurut Zulfadly, maka penyedia internet hanya akan mempersiapkan jaringan untuk OTT asing tersebut. Padahal, sumber daya operator telekomunikasi di Indonesia seperti frekuensi dan bandwidth terbatas. Namun, trafik data dari OTT terus mengalami peningkatan eksponensial.
Padahal, OTT asing menginginkan akses internet dengan kualitas yang bagus. Untuk mendapatkan akses internet yang berkualitas, anggota APJII harus meningkatkan frekuensi dan bandwidth. Untuk meningkatkan frekuensi dan bandwidth, anggota APJII harus melakukan investasi yang nilainya tidak sedikit.
"Harga internet diharapkan makin murah, sedangkan untuk dapat mengakses OTT asing juga membutuhkan bandwidth ke luar negeri dengan kapasitas besar, tentu memerlukan biaya lebih. Anggota APJII dituntut untuk memberikan akses internet dengan kualitas bagus ke OTT asing tersebut jika tidak ingin ditinggal pelanggannya," kata pria berkacamata ini.
"Anggota kami terus berusaha untuk memberikan layanannya terhadap akses ke OTT asing, tapi kok kontribusi OTT asing ini tidak ada. Kondisi inilah yang dirasakan kurang adil bagi kami, anggota APJII," ungkap Zulfadly.
Diakui Zulfadly, Indonesia tidak memiliki daya tawar kepada OTT asing. Ia menyebutkan Pemerintah China mampu melakukan aksi nyata untuk filterisasi dan memaksa OTT asing tunduk pada aturan yang diberlakukan pemerintahnya. Selain itu, juga mempersiapkan substitusi layanan OTT asing, sedangkan di Indonesia, kondisinya berbanding terbalik.
"Akhirnya, kita tidak berdaya. OTT asing itu hadir karena kita dianggap tidak mampu membuatnya. Padahal, kita mampu, hanya saja perhatian pemerintah untuk menciptakan iklim riset dan inovasi untuk OTT sangat minim, bahkan tidak ada," ungkap Zulfadly.
Agar OTT asing dan pelaku usaha telekomunikasi nasional memiliki kesetaraan, Zulfadly meminta agar pemerintah dapat menata ulang regulasi telekomunikasi di Indonesia. Pemerintah memiliki kewajiban untuk membenahi infrastruktur internet di Indonesia. Jika pemerintah tak membenahinya, maka yang akan dirugikan adalah masyarakat Indonesia secara luas.
"Jangan ada lagi jargon 'seleksi alam', yang mampu akan berkembang dan yang tidak mampu akan tutup dengan sendirinya. Kondisi yang kondusif ini harus diciptakan oleh pemerintah karena telekomunikasi merupakan sektor strategis yang harus dijaga pemerintah guna kepentingan nasional. Selain itu, pemerintah juga harus menciptakan ekosistem dengan membuka ruang dan iklim berinovasi yang luas agar OTT lokal dapat tumbuh," pungkas Zulfadly.
Simak Video "Video: Momen 8 Orang Terjaring OTT KPK di OKU Dibawa ke Jakarta"
[Gambas:Video 20detik]
(agt/fay)