Perkembangan artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan mulai meresahkan. Kecanggihan AI mulai memunculkan kekhawatiran teknologi ini akan mencapai tahap mampu membuat keputusan tanpa campur tangan manusia.
Hal ini disampaikan Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika Nezar Patria saat membuka Focus Group Discussion (FGD) 'Kebijakan Teknologi Artifisial' di Hotel Grand Hyatt, Jakarta, Senin (27/11). Menurutnya, kekhawatiran ini berlaku secara global. Itu sebabnya berbagai negara saat ini sedang berpacu menyusun aturan etika AI, termasuk Indonesia.
"Saya kira hampir di seluruh negara sedang memikirkan (aturan AI)juga, bagaimana AI harus diatur. Di tengah kegalauan sejumlah negara, perlu dipikirkan apakah akan melanjutkan proses pengembangan AI, terutama generative AI, sehingga levelnya sampai autonomus, manusia tidak campur tangan lagi," paparnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Perkembangan AI, lanjut Nezar, menimbulkan satu ketakutan yang disebut sebagai human extinction, atau musnahnya manusia berkaitan dengan teknologi. Menurutnya, hal ini bukan sesuatu yang masih lama akan terjadi, melainkan sudah terlihat di depan mata sehingga perlu diantisipasi.
"Ini bukan hal yang jauh, tapi sudah sangat dekat jika melihat kemampuan AI saat ini. Level autonomous-nya saya kira sudah mencapai level di mana AI bisa memutuskan sendiri tanpa campur tangan manusia," sebutnya.
![]() |
Indonesia Ikut Meregulasi AI
Indonesia pun mengikuti apa yang sekarang menjadi perhatian global dengan mulai menyusun Surat Edaran Etika AI yang akan menjadi panduan meregulasi AI.
Negara-negara yang saat ini tengah menyusun aturan AI, sepakat bahwa perkembangan teknologi kecerdasan buatan harus bertanggung jawab, berpusat pada manusia, dan tidak menghambat inovasi.
"Dalam diskusi AI Safety Summit di Inggris, ada beberapa concern soal ini sehingga ada gerakan juga pause AI, jadi di-pause (berhenti sementara) dulu nih sampai regulasinya muncul," kata Nezar.
Ada 28 negara yang menghadiri AI Safety Summit yang digelar 1-2 November 2023, termasuk Indonesia, Singapura, dan Filipina yang mewakili Asia Tenggara.
Dalam hal ini, semua negara mengkhawatirkan hal yang sama: yakni bagaimana jika perkembangan AI di masa depan menimbulkan bahaya seperti hilangnya lapangan kerja, disinformasi, dan keamanan nasional. Hasilnya, 28 negara menandatangani Deklarasi Bletchley yang menyetujui kerja sama dalam mengevaluasi risiko AI.
Isi dari deklarasi antara lain menyebutkan, banyak risiko yang timbul dari AI yang pada dasarnya bersifat internasional sehingga akan lebih baik diatasi melalui kerja sama internasional. Negara-negara ini juga bertekad untuk bekerja sama secara inklusif untuk memastikan AI berpusat pada manusia, dapat dipercaya, dan bertanggung jawab.
"Saya kira ketakutan-ketakutan itu tentu tidak untuk menghambat inovasi yang sudah dilakukan, karena bagaimanapun AI adalah teknologi hasil karya manusia dan mestinya dimanfaatkan untuk kemasalahan manusia juga. Jadi bukan teknologi yang mengatur manusia tapi manusia yang mengatur teknologi," kata Nezar.
Surat Edaran Pedoman Etika AI saat ini tengah dalam tahap finalisasi dengan mempertimbangkan berbagai masukan dari para pemangku kepentingan. Rencananya, draft final Surat Edaran Pedoman Etika AI dirilis secara resmi Desember 2023.
(rns/rns)