Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) bertekad untuk membasmi layanan pinjaman online (pinjol) ilegal yang bikin ruang digital jadi tidak kondusif, terutama di sektor keuangan.
Direktur Jenderal Aplikasi Informatika (Dirjen Aptika) Kementerian Kominfo, Semuel Abrijani Pangerapan, mengimbau kepada masyarakat agar waspada dan dapat mengenali modus pelaku pinjol ilegal.
"Bukan tanpa alasan, mengingat saat ini terdapat 202,6 juta pengguna internet di Indonesia. Ini angka yang sangat besar, yang aktif di sosial media ada 170 juta jiwa atau 87% menggunakan aplikasi jejaring pesan Whatsapp, 85% mengakses Instagram dan Facebook, dengan rerata penggunaan 8 jam 52 menit sehari," tutur Semuel dikutip dari laman Kominfo, Jumat (20/8/2021).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jadi, ini melebihi batas waktu masyarakat kita berkomunikasi di ruang digital sehingga dapat memicu seseorang melakukan tindak kejahatan penipuan dengan memanfaatkan situasi untuk mendapatkan keuntungan," jelasnya.
Untuk membantu masyarakat waspada pinjol ilegal yang bikin resah, Kominfo mengungkapkan modus-modus pinjol ilegal menjerat para korbannya, seperti phising, pharming, sniffing, money mule, dan social engineering.
Phising
Semuel menjelaskan untuk modus penipuan berupa phising dilakukan oleh oknum yang mengaku dari lembaga resmi dengan menggunakan telepon, email atau pesan teks.
"Seolah-lah dari lembaga resminya, namun sebetulnya mereka ingin menggali supaya kita memberikan data-data pribadi kita," ucapnya.
Data-data pribadi ini biasanya digunakan untuk kejahatan berikutnya. Mereka menanyakan data-data sensitif untuk mengakses akun penting yang mengakibatkan pencurian identitas hingga kerugian.
Oleh karena itu, apabila mengalami hal ini, masyarakat harus teliti membaca dengan benar dan melihat secara seksama isi dari SMS maupun email apakah benar pengirimnya berasal dari institusi asli.
Baca juga: Habis TV Analog, Mengudara Siaran TV Digital |
Phraming
Modus kedua, menurut Dirjen Aptika adalah phraming HP, yakni penipuan dengan modus mengarahkan mangsanya kepada situs web palsu di mana entri domain name system yang ditekan/diklik korban akan tersimpan dalam bentuk cache.
"Sehingga, dapat memudahkan pelaku untuk mengakses perangkat pelaku secara illegal. Contohnya, pembuatan domain seolah-olah mirip dengan asal institusi dari yang aslinya.
Semuel menambahkan pelaku akan menaruh atau memasang malware supaya nantinya bisa mengaksesnya secara illegal.
"Kasus seperti ini banyak terjadi umpamanya ada yang WhatsApp-nya disadap/diambilalih karena ponsel sudah dipasangkan malware oleh pelaku sehingga data-data pribadinya dicuri," jelasnya.