Situasi pandemi membuat banyak negara bergantung pada mata uangnya. Mereka yang mata uangnya tidak terlalu kuat, melirik cryptocurrency.
Kekhawatiran COVID-19 akan menjadi wabah global pada awal kuartal ke-2 membuat pasar modal dunia terguncang. Indeks Dow Jones sempat mengalami penurunan sampai 35% pada Maret tahun ini. Pada periode yang sama, pasar saham global kehilangan valuasi pasar sekitar US$6 triliun, di mana US$4 triliun di antaranya terjadi di pasar saham Amerika Serikat. Pasar saham Indonesia sendiri mencatatkan kerugian hingga Rp 2.000 triliun, yang nilai tersebut setara dengan 94,4% APBN tahun 2020.
Situasi pandemi ini juga menyingkap 'ketidakadilan' sistem keuangan global secara terang-benderang. Negara-negara maju yang memiliki 'mata uang keras' atau 'hard currency' karena menjadi cadangan valuta asing (valas) bagi bank sentral berbagai negara, dapat dengan mudah mencetak mata uang dalam jumlah besar untuk stimulus ekonomi bagi warganya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga: China Bagi-bagi Rp 21,8 Miliar Duit Digital |
Pada akhir Maret 2020, Amerika Serikat 'mencetak' US$2 triliun untuk stimulus COVID-19 tahap pertama. DPR AS yang dipimpin Nancy Pelosi sudah menyetujui stimulus tambahan sebesar US$3 triliun, yang saat ini belum disetujui Senat. Uni Eropa sudah mencetak 750 miliar Euro paket stimulus ekonomi dan tengah menyiapkan tambahan 1,8 triliun Euro untuk pemulihan ekonomi pasca pandemi. Di Asia, Jepang sudah mencetak 108 triliun Yen untuk stabilitas ekonomi negara yang juga terguncang akibat virus corona.
Sementara negara berkembang seperti Indonesia yang mata uangnya tidak termasuk 'hard currency' tidak bisa dengan gampang mencetak rupiah, meskipun DPR menyerukan pemerintah untuk mengikuti langkah negara-negara maju dengan mencetak Rp 600 triliun sebagai stimulus ekonomi selama pandemi. Pemerintah tentunya tidak bisa dengan mudah melakukan hal itu. Kecuali jika ingin rupiah menjadi seperti dolar Zimbabwe yang tidak ubahnya lembaran-lembaran kertas yang tidak ada harganya.
Di sektor komoditas, harga emas mengalami lonjakan tajam selama pandemi dan harganya emas mencapai puncaknya pada awal Agustus lalu. Setelah itu, tren harga emas mengalami penurunan.
Pada satu sisi hal ini sangat ironis karena standar emas sudah lama ditinggalkan oleh berbagai bank sentral dunia. Amerika Serikat sudah sepenuhnya meninggalkan standar emas sebagai penjamin dollar AS pada tahun 1971. Pada sisi lain, lonjakan harga emas sering dijadikan sebagai indikator (istilahnya canary in a coalmine) bahwa ada yang tidak beres dengan sistem mata uang dunia.
Dalam perspektif yang lebih luas, krisis seperti pandemi COVID-19 memberi gambaran bahwa ketika fenomena disrupsi terjadi di berbagai industri (transportasi, telekomunikasi, ritel, hiburan, dll) sistem keuangan dunia tetap tidak tersentuh. Negara-negara maju yang dulu diuntungkan oleh standar emas dan mata uangnya menjadi cadangan valas berbagai bank sentral dunia karena bisa mencetak mata uang sesuka mereka. Sementara negara seperti Indonesia diuntungkan dengan rupiah yang sedikit menguat karena dolar AS, Euro dan Yen yang melimpah di pasar uang.
Tapi jangan salah, negara-negara yang tidak terlalu diuntungkan dengan sistem mata uang dunia tidak tinggal diam. Mereka mencoba meningkatkan posisi tawar melalui instrumen investasi yang dulu hanya dikenal di kalangan terbatas: cryptocurrency atau di Indonesia dikenal sebagai aset kripto.
Halaman selanjutnya: aksi aset kripto di sejumlah negara...
China, misalnya, pada akhir 2019 lalu mengumumkan peluncuran aset digital atau aset kripto People's Bank of China (PBoC) yang rencananya akan diuji cobakan pada akhir 2020. Rusia dan India juga dilaporkan tengah melakukan persiapan serupa. Di dunia aset kripto yang sudah mapan, pandemi membuat aset kripto semakin dilirik. Bitcoin, misalnya, kini menjadi instrumen investasi yang disejajarkan dengan saham, valas dan emas.
Artikel Nikkei bulan 15 Oktober lalu menampilkan Raoul Pal, mantan hedge-fund manager Goldman Sachs yang kini menjadi co-founder and CEO of Global Macro Investor. Pal mengaku portofolio investasinya saat ini mencakup saham, dolar, emas, dan bitcoin. Menariknya, dia mengaku investasi di bitcoin mencapai lebih dari 50% dari seluruh investasinya!
Fenomena ini sejalan dengan hasil survei bertajuk The Future of Payments dari Deutsch Bank yang dirilis pada Januari 2020 lalu. Survei ini melibatkan 3.600 nasabah di China, Perancis, Jerman, Italia, Inggris dan Amerika Serikat. Menurut laporan tersebut, mayoritas responden dari kaum milenial berpendapat aset kripto bagus untuk perekonomian dan sepertiga responden milenial mengaku sudah melakukan jual beli aset kripto.
Bagian lain laporan dari laporan Deutsch Bank tersebut mengungkapkan, volume aset kripto akan menyalip mata uang konvensional dalam 10 tahun ke depan. Ini mungkin terdengar mengejutkan, tapi melihat ketimpangan antara negara maju dan negara berkembang di masa pandemi, sistem keuangan dunia memang harus mengalami disrupsi.
Baca juga: Mungkinkah Ada One World Digital Currency? |
Bagaimana dengan Indonesia? Dengan terbitnya peraturan BAPPEBTI Nomor 5 Tahun 2019 tentang Ketentuan Teknis Penyelenggaraan Pasar Fisik Aset Kripto (Crypto Asset) di Bursa Berjangka, jual beli aset kripto, seperti Bitcoin, Ethereum, Ripple, Binance Coin, dll. di Indonesia saat ini sudah legal.
Lebih dari itu, para pelaku bisnis aset kripto yang terdiri dari Tokocrypto, ICDX (The Indonesia Commodities and Derivatives Exchange), ICH (Indonesia Clearing House), Rekeningku.com, Digital Exchange Indonesia (Digitalexchange. id), Triv, dan Bitocto belum lama ini membentuk Asosiasi Perdagangan Aset Kripto Indonesia (APAKI).
Hal ini tentunya sangat menggembirakan karena Indonesia bisa menjadi pemain yang diperhitungkan di pasar aset kripto di Asia, setelah sebelumnya diakui sebagai ekonomi digital terbesar di Asia Tenggara. Apalagi separo dari pekerja di Indonesia adalah milenial, dengan pemahaman teknologi dan wawasan tentang aset kripto yang tidak kalah dengan milenial di negara-negara lain.
Jadi ketika sistem finansial global mengalami disrupsi atau krisis global selevel pandemi COVID-19 terulang, masyarakat tidak terkaget-kaget dan beramai-ramai memborong emas seperti yang terjadi belum lama ini.
*) Pang Xue Kai adalah Chief Executive Officer Tokocrypto
(fay/fay)