Proyek BTS 4G BAKTI Molor, Pengamat Saran Begini
Hide Ads

Proyek BTS 4G BAKTI Molor, Pengamat Saran Begini

Anggoro Suryo Jati - detikInet
Minggu, 17 Apr 2022 08:02 WIB
Telkomsel siap menggelar jaringan 4G baru di daerah pelosok. Sebanyak 7.772 Base Transceiver Station (BTS) Universal Service Obligation (USO) akan dioperasikan untuk menghadirkan sinyal 4G Telkomsel di wilayah Tertinggal, Terdepan, dan Terluar (3T).
Ilustrasi BTS seluler. Foto: Telkomsel
Jakarta -

Badan Aksesibilitas Telekomunikasi Indonesia (BAKTI) membeberkan sejumlah alasan yang jadi penyebab melesetnya target pembangunan base transceiver station (BTS) 4G di 4.200 desa. Alasannya antara lain adalah hambatan geografis serta pandemi yang membatasi mobilitas barang dan orang.

Menurut Alamsyah Saragih, Praktisi Kebijakan Publik yang sedang melakukan telaah terhadap sektor telekomunikasi khususnya pemerataan akses telekomunikasi ke wilayah 3T, alasan yang diberikan BAKTI bisa dipahami namun berlebihan.

"Hingga Maret 2022, di Papua, konsorsium Lintas Arta, Huawei dan SEI justru berhasil mencapai kinerja 89% Ready For Installation. Sementara di luar Papua Fiberhome, Telkom Infra dan MTD secara keseluruhan hanya mencapi 57%, meskipun beberapa subkontraktor mereka ada yang bisa mencapai 80%. Jadi inti masalah bukan pada kendala geografis," jelas Alamsyah, dalam keterangan yang diterima detikINET.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Lebih lanjut dijelaskan Alamsyah, terkait alasan pandemi, fase pertama proyek pembangunan BTS 2021 sudah diperpanjang hingga 31 Maret 2022. Beberapa subkontraktor disampaikannya memiliki kinerja yang tinggi ditandai oleh pembayaran yang lancar. Namun masih banyak pembangunan yang terhambat karena masalah pembayaran.

"Faktanya justru terjadi kelambanan di daerah luar Papua karena banyak subkontraktor level-2 tak dibayar sesuai perjanjian seperti yang ramai diberitakan. COVID-19 sudah tidak relevan lagi dijadikan alasan setelah proyek diperpanjang," imbuhnya.

ADVERTISEMENT

Terkait alasan gangguan keamanan yang menjadi penyebab kelambatan pembangunan, Mantan Komisioner Ombudsman ini menjelaskan di wilayah Papua dengan gangguan keamanan tinggi, masih ada konsorsium yang berhasil mencapai Ready For Installation (RFI) hingga 89% sites.

"Di wilayah kerja IBS-ZTE hanya mencapai 31%. Berdasarkan informasi dari lapangan, selain terjadi inseden penembakan pekerja, juga pernah terjadi kendala akibat sistem pengangkutan material yang sekaligus dan tak tersortir. Akibatnya terjadi penumpukan di gudang dan diperlukan waktu agak lama untuk melakukan penyortiran dan pengiriman ke lokasi. Pembayaran kepada subkontraktor relatif tak bermasalah," jelas Alamsyah.

Namun demikian di luar Papua dan Papua Barat, yang dikerjakan oleh konsorsium Fiberhome, Telkom Infra dan MTD hanya mencapai 57% RFI meskipun tingkat risiko keamanan rendah.

Oleh karena itu dengan progres pembangunan BTS yang rendah ini, Alamsyah menyarankan sebaiknya proyek pembangunan tahap 2 tidak dilanjutkan sebelum terlebih dahulu evaluasi teknis untuk fungsionalitas BTS yang sudah dibangun untuk mengetahui apakah service standard dapat terpenuhi dan tak berbeda satu dengan lainnya.

"Jangan sampai proyek pembangunan BTS BAKTI ini mengalami nasib serupa dengan proyek Mobil Pusat Layanan Internet Kecamatan (MPLIK) yang pernah digagas Kominfo cq BP3TI (sekarang BAKTI). Hingga saat ini proyek tersebut mangkrak dan berpotensi menimbulkan pemborosan uang negara sebesar Rp. 1,4 triliun," tutup Alamsyah.




(asj/rns)