Teknologi 4G sendiri saat ini menawarkan kecepatan download maksimum 100 Mbps, meski ini tergantung kondisi jaringan penyedia layanan. Sementara 5G konon sanggup meletupkan kecepatan download hingga 10 Gbps.
Baca juga: 97% Populasi RI Terjangkau Layanan 4G |
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pun demikian, Direktur Utama Telkom Alex J. Sinaga membeberkan, masalahnya sekarang adalah para pelaku industri telekomunikasi dunia masih berpikir keras dalam mencari jawaban mendasar dalam sebuah bisnis. Yakni bagaimana mengimplementasikan teknologi 5G ini sehingga kemudian dapat menciptakan return (revenue yang layak-red.) kepada pelaku industri yang sudah menggelontorkan investasi besar-besaran.
"Justru pointnya ternyata yang lebih rumit bukan di teknologi, bukan di device. Tetapi justru mau dipakai apa sih sebetulnya 5G ini?" kata Alex saat ditemui detikcom di sela perhelatan Mobile World Congress (MWC) 2019 di Barcelona, Spanyol.
![]() |
Memang, di MWC 2019 sendiri tagline utama yang ditonjolkan adalah 5G. Sederet perusahaan berbasis teknologi yang ambil bagian di acara ini pun seraya kompak menjual mimpi 5G. Mulai dari menawarkan kemampuan mobil tanpa sopir, menggerakkan robot dari jarak jauh, mengkombinasikan game dengan virtual reality (VR) gingga menggelar operasi bedah lintas benua.
Namun, Alex menegaskan bahwa pertanyaan mendasar yang terekam di kepala pelaku industri telekomunikasi sejatinya masih belum terjawab. Toh, pada akhirnya operator sebagai penyedia layanan mesti berpikir realistis soal model bisnis, tak semata untuk gaya-gayaan agar kelihatan keren.
"Itu sekarang teknologi owner, termasuk operator, itu ada di situ persoalannya. Dan setiap ditemukan usecase-nya lalu ribut lagi, bisnis modelnya gimana ya? Nah, jadi sampai hari ini itu belum ketemu (jawabannya), tapi semua orang sedang berpikir," ucapnya.
Video: Keren Banget Robot Humanoid yang Digerakkan Sensor 5G
[Gambas:Video 20detik]
Pusing Bareng
Eropa sendiri disebut-sebut sebagai kawasan yang paling agresif mengadopsi 5G. Salah satu implementasinya dengan pemanfaatan mobil tanpa supir. Ada pula yang memanfaatkan 5G untuk truk pengangkut barang, dimana kondisinya truk tersebut dikendarai secara otomatis dijalankan di jalan tol, karena biaya mencari sopir susah dan mahal di Eropa. Nanti kemudian di dalam kota baru dikendarai manual lagi. Tapi masalahnya adopsi seperti ini tak cocok di Indonesia.
"Selain itu pertanyaannya, size-nya memadai nggak dengan investasi yang dikeluarkan? Kemampuan teknologi 5G ini banyak, tetapi tidak seperti 3G ke 4G karena bisnis modelnya sudah on play, kalau 5G memang teknologinya siap tetapi ide-ide untuk pemanfaatannya itu benar-benar harus memulai dari coretan di kertas. Dan kadang juga membutuhkan kebijakan baru dari negara. Termasuk juga mungkin di sistem hukum," kata Alex memaparkan.
Meski begitu, kita disebut tak perlu berkecil hati karena semua negara di dunia juga masih pada berpikir tentang bagaimana mengadopsi teknologi 5G agar lebih berfaedah serta menghasilkan return yang masuk akal bagi penyedia layanan.
Sebab kalau ujung-ujungnya cuma untuk dipakai internetan atau download film. Alex mengibaratkan sama saja dengan membunuh nyamuk dengan meriam.
"5G jadi PR-nya masih banyak, tetapi nggak perlu sedih. Dunia juga mengalami masalah yang sama, jadi pusingnya bareng-bareng lah," pungkasnya.
Baca juga: Jaringan 5G Oppo Pakai Frekuensi Berapa? |
(ash/krs)