Pakar siber menyoroti setelah tepat satu tahun sejak berakhirnya masa transisi Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP), pelaksanaannya dinilai masih jauh dari harapan.
Ketua Lembaga Riset Keamanan Siber CISSReC, Pratama Persadha, menilai bahwa meski regulasi sudah ada, perlindungan terhadap data pribadi masyarakat belum terasa nyata.
"Telah satu tahun berlalu sejak berakhirnya masa transisi Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi, namun implementasinya masih jauh dari harapan publik," ujar Pratama dalam keterangannya, Kamis (23/10/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurutnya, dalam satu tahun terakhir, Indonesia masih dibayangi beragam kejahatan digital, mulai dari kebocoran data di sektor publik dan swasta, maraknya penipuan online, judi daring, hingga modus rekayasa sosial yang memanfaatkan kecerdasan buatan (AI).
"Data pribadi warga telah menjadi komoditas yang diperdagangkan secara ilegal di ruang siber, dan ketiadaan lembaga otoritatif yang menjalankan fungsi pengawasan dan penegakan hukum secara tegas membuat situasi ini kian mengkhawatirkan," tegas Pratama.
Badan PDP Tak Kunjung Dibentuk
CISSReC menyoroti lambatnya pembentukan Badan Pelindungan Data Pribadi (Badan PDP) yang sejatinya diamanatkan oleh Pasal 58 UU PDP. Lembaga ini seharusnya menjadi "garda depan" dalam memastikan kepatuhan lembaga dan perusahaan terhadap prinsip perlindungan data.
Namun hingga kini, pembentukan Badan PDP belum dilakukan oleh Presiden, sementara Peraturan Pemerintah (PP) turunan UU PDP juga belum terbit. Kondisi ini membuat penegakan hukum dan tata kelola data tidak memiliki kejelasan operasional.
"Tanpa Badan PDP dan PP PDP, mekanisme penegakan hukum serta standar kepatuhan tidak memiliki kejelasan operasional. Regulasi yang seharusnya memberikan rasa aman justru masih menjadi simbol tanpa daya eksekusi," tutur Pratama.
Lebih lanjut, ia menekankan bahwa Badan PDP harus dibentuk dengan fondasi yang kuat, independen, dan bebas dari intervensi politik.
"Kepemimpinan lembaga ini tidak boleh sekadar berdasarkan penunjukan politik, tetapi harus didasarkan pada kompetensi teknis dan pengalaman mendalam dalam bidang keamanan siber, tata kelola data, serta privasi digital," ujarnya.
Desak Presiden Ambil Langkah Konkret
Pratama juga mengaitkan momentum ini dengan satu tahun pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. Ia mengingatkan, pembentukan Badan PDP merupakan kewajiban hukum yang dibebankan langsung kepada Presiden.
"Penundaan ini berpotensi menimbulkan anggapan publik bahwa Presiden telah melanggar amanat undang-undang, serta dapat menggerus kepercayaan masyarakat terhadap komitmen negara dalam melindungi hak digital warganya," tegasnya.
Ia menilai, pemerintah perlu segera mengambil langkah konkret agar pelaksanaan UU PDP berjalan sesuai amanat konstitusi Pasal 28G ayat (1) UUD 1945, sekaligus menjaga marwah hukum di ruang digital.
Krisis Kepercayaan Digital
CISSReC juga mencatat meningkatnya laporan pencurian identitas digital, pembobolan rekening melalui phishing dan social engineering, hingga penyalahgunaan data pribadi untuk registrasi akun judi online. Banyak masyarakat tidak sadar bahwa data mereka telah bocor dari sumber resmi, termasuk platform e-commerce, layanan publik, dan lembaga keuangan.
"Kondisi ini menimbulkan krisis kepercayaan terhadap sistem digital nasional dan mengancam fondasi ekonomi digital Indonesia yang tengah tumbuh pesat," ucap Pratama.
Ia menegaskan, jika pemerintah ingin memastikan transformasi digital berjalan aman dan berkelanjutan, maka percepatan implementasi UU PDP dan pembentukan Badan PDP harus menjadi prioritas utama. Ia mencontohkan negara-negara seperti Uni Eropa dengan GDPR dan Singapura dengan PDPA yang sudah lebih maju dalam membangun sistem perlindungan data pribadi.
"Indonesia tidak bisa terus tertinggal. UU PDP sudah menjadi pijakan hukum yang kuat, namun tanpa langkah implementatif dan lembaga pelaksana yang berdaya, regulasi tersebut akan kehilangan maknanya," ujarnya.
Ia menutup dengan menegaskan bahwa perlindungan data pribadi bukan hanya tanggung jawab individu, tetapi tanggung jawab negara dalam menjaga martabat dan keamanan warganya di era digital.
"Pembentukan Badan PDP yang kredibel, didukung PP yang jelas, serta pemimpin dengan integritas dan kompetensi tinggi akan menjadi kunci agar UU PDP benar-benar hidup dan bekerja melindungi rakyat," pungkas Pratama.
(agt/rns)











































