Kasus salah tangkap orang terjadi di Amerika Serikat. Menurut penelusuran The Washington Post, setidaknya ada delapan orang yang menjadi korban akibat pengecekan yang terlalu mengandalkan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI).
Dari wawancara, kedelapan orang tersebut mengaku dirugikan dalam banyak hal. Mereka kehilangan pekerjaan, hubungan yang rusak, hingga tidak dapat membayar sewa rumah atau biaya mobil. Beberapa dari mereka bahkan menyebut anak-anaknya harus dibawa konseling karena trauma melihat orang tuanya ditangkap.
Semua kasus pada akhirnya memang dibatalkan. Tapi yang disayangkan, polisi sebenarnya masih bisa menyingkirkan sebagian besar orang dari daftar terduga sebelum melakukan penangkapan. Paling dasar, polisi harus memeriksa alibi, membandingkan ciri khas/tato, atau, dalam satu kasus, menelusuri bukti DNA dan sidik jari yang tertinggal di tempat kejadian.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Melalui peninjauan kontrak pemerintah, laporan media, dan permintaan catatan publik, The Washington Post mengidentifikasi 75 departemen yang menggunakan pengenalan wajah. Dari sana terungkap bahwa 40 di antaranya sampai ke tahap penangkapan.
"Dari jumlah tersebut, 17 gagal memberikan cukup detail untuk mengetahui apakah petugas berupaya untuk menguatkan kecocokan AI dengan terduga. Di antara 23 lembaga yang tersisa, The Washington Post menemukan bahwa hampir dua pertiga telah menangkap tersangka yang diidentifikasi melalui kecocokan AI tanpa bukti independen," tulis The Washington Post.
Lebih lanjut, polisi menganggap pengenalan wajah membantu mereka memecahkan banyak kasus sulit, termasuk serangan pada 6 Januari 2021 di Gedung Capitol AS. Penyidik federal mengumpulkan banyak bukti tambahan dalam penyelidikan tersebut termasuk data lokasi seluler dan unggahan media sosial. Perangkat lunak tersebut bekerja hampir sempurna dalam uji lab, menggunakan foto perbandingan yang jelas. Di sana didapatkan sejumlah 1.200 vonis.
Namun, belum ada pengujian independen di dunia nyata atas keakuratan teknologi tersebut dalam cara polisi biasanya menggunakannya. Apalagi, ada kemungkinan kualitas gambar yang dimiliki kepolisian rendah. Karena itu, sulit untuk mengetahui seberapa sering perangkat lunak tersebut melakukan kesalahan.
Dalam satu contoh, polisi di Woodbridge, New Jersey, menangkap Nijeer Parks. Dia adalah seorang tersangka perampokan yang 'ditemukan' melalui pengenalan wajah pada tahun 2019. Mirisnya, bukti DNA dan sidik jari yang dikumpulkan di tempat kejadian dengan jelas mengarah ke orang lain. Woodbridge menyelesaikan gugatan tersebut sebesar USD 300.000 tahun lalu, tapi tetap tidak mengakui kesalahan yang memang tidak dia perbuat.
"Polisi Woodbridge tidak menanggapi permintaan komentar, dan The Post tidak dapat menemukan indikasi bahwa pria yang cocok dengan bukti DNA dan sidik jari tersebut pernah didakwa," tambah The Washington Post.
(ask/fay)