Pada Mei 2025, sebuah desa di Pegunungan Alpen, Swiss, sebagian besar hancur diterjang gletser besar yang runtuh. Seketika desa ini lenyap. Namun, bencana ini telah diantisipasi sebelumnya, sehingga nyaris seluruh penduduk desa selamat.
Para ilmuwan telah memperkirakan kemungkinan terjadinya runtuhan gletser, dan laporan ini langsung diteruskan oleh pihak berwenang yang segera mengevakuasi seluruh desa berpenduduk 300 orang ini. Tak hanya warga, hewan-hewan termasuk domba bahkan sapi yang sedang merumput pun ikut dievakuasi menggunakan helikopter.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Rekaman video runtuhnya gletser menjadi viral saat bencana alam itu terjadi di desa yang berlokasi di Valais, selatan ibu kota Swiss, Bern. Setelah itu, awan besar berisi batu, es, dan tanah membubung dan menyelimuti pegunungan serta lembah, mengingatkan sebagian orang pada awan yang terbentuk dari ledakan bom atom.
"Apa yang terjadi adalah hal yang tak terbayangkan, skenario terburuk yang menimbulkan bencana," kata Christophe Lambiel, seorang spesialis geologi pegunungan tinggi dan gletser di Lausanne University dalam wawancara dengan stasiun TV Swiss RTS saat itu, dikutip dari NPR, Kamis (11/12/2025).
Lambiel mengatakan para ilmuwan tahu sesuatu akan terjadi, berkat semakin seringnya terjadi longsoran batu dari lereng gunung ke gletser. Namun, ia mengatakan keruntuhan total gletser tersebut tidak diprediksi sebelumnya.
Dalam siaran pers yang dirilis tak lama setelah terjadinya bencana, pemerintah daerah Valais mengatakan Gletser Birch telah runtuh hampir seluruhnya di atas desa Blatten. Es dan batuan setebal beberapa puluh meter dan sepanjang sekitar 1,6 km kini tergeletak di lembah.
"Kerusakannya cukup besar. Sebuah sungai lokal telah terblokir, dan sebuah danau sedang terbentuk. Tantangannya terletak pada perilaku akumulasi air ini dan Sungai Lonza, yang dapat menyebabkan aliran lava yang deras jika sungai meluap ke endapan tersebut," tulis pemerintah daerah setempat dalam siaran pers tersebut.
Menurut polisi, ada satu orang dilaporkan hilang, yakni seorang pria berusia 64 tahun. Saat itu, pencarian sempat ditangguhkan sementara karena kondisi yang berbahaya. Lambiel mengatakan Gletser Birch berbeda dari gletser lainnya.
"Ini adalah satu-satunya gletser yang terus maju selama dekade terakhir. Semua gletser lainnya menyusut," katanya.
Menurutnya, pergerakan tersebut disebabkan oleh runtuhnya tebing di atasnya, yang mengakibatkan jatuhnya bongkahan batu besar, menambah berat dan tekanan. Lambiel mengatakan longsoran batu tersebut disebabkan oleh perubahan iklim.
"Peningkatan longsoran batuan disebabkan oleh mencairnya lapisan es abadi, yang meningkatkan ketidakstabilan," jelasnya, seraya mencatat bahwa lapisan es abadi telah menghangat setidaknya 1 derajat Celcius dalam 10 hingga 15 tahun terakhir.
Sekitar 3 juta meter kubik, atau hampir 4 juta yard kubik, puing-puing telah menumpuk di gletser tersebut, demikian menurut kutipan pernyataan RaphaΓ«l Mayoraz, kepala Dinas Bencana Alam pemerintah setempat, yang dimuat di surat kabar Le Monde Prancis.
"Alam lebih kuat daripada manusia dan penduduk pegunungan sangat menyadari hal ini. Namun, apa yang terjadi hari ini benar-benar luar biasa. Ini adalah hal terburuk yang bisa kita bayangkan," kata Menteri Lingkungan Swiss Albert RΓΆsti kepada wartawan merespons bencana tersebut.
Sementara itu, Walikota Blatten Matthias Bellwald dalam konferensi pers saat itu menyampaikan, "Kami kehilangan desa kami, tetapi bukan nyawa kami.
"Desa ini tertimbun kerikil, tetapi kami akan bangkit. Kami akan bersolidaritas dan membangun kembali. Segala sesuatu mungkin terjadi," katanya.
Kejadian di Swiss adalah pelajaran penting untuk dunia termasuk Indonesia. Jangan pernah sekali-kali mengabaikan peringatan bahaya dari para ilmuwan. Mereka tidak asal bicara soal potensi bencana alam karena merupakan pakarnya. Jika pemerintah di Swiss cuek, tidak terbayang berapa korban jiwa manusia di sana saat bencana sungguh terjadi.
(rns/fay)