Kategori Berita
Daerah
Layanan
Detik Network
detikInet
Pakar UGM Desak Reforestasi untuk Tekan Risiko Banjir Bandang

Pakar UGM Desak Reforestasi untuk Tekan Risiko Banjir Bandang


Rachmatunnisa - detikInet

Foto udara suasana perkampungan di Kelurahan Hutanabolon yang luluh lantak akibat banjir bandang di Tukka, Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, Minggu (7/12/2025). Hingga hari ke-12 pascabencana banjir bandang dan tanah longsor, masyarakat Hutanabolon saat ini masih terisolasi dan masih rawan bencana susulan. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja
Foto udara perkampungan di Kelurahan Hutanabolon yang dihancurkan banjir bandang di Tukka, Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, Minggu (7/12/2025). Foto: ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja
Jakarta -

Pakar kehutanan dan hidrologi Universitas Gadjah Mada (UGM) menegaskan perlunya reforestasi dan rehabilitasi Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai langkah mendesak setelah banjir bandang dan longsor di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat menewaskan 961 orang, 293 orang hilang, dan 5 ribu luka-luka (data BNPB per Senin (8/12).

Dalam diskusi 'Pengelolaan Hutan dan Mitigasi Bencana' di Auditorium Fakultas Kehutanan UGM, peneliti hidrologi UGM, Dr. Hatma Suryatmojo, menyebut bencana ini adalah kombinasi hujan ekstrem dan kerusakan ekosistem hulu-hilir akibat deforestasi, alih fungsi lahan, serta tata ruang yang abai risiko.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Curah hujan ekstrem memang ada dan itu menjadi pemicu awal. Sehingga kami melihat bahwa akar masalah sesungguhnya adalah perusakan ekosistem hulu sampai hilir dari daerah aliran sungai dan kelalaian tata ruang yang terjadi secara sistematik," paparnya seperti dikutip dari situs UGM, Selasa (9/12/2025).

Hatma merekomendasikan dua langkah besar:

ADVERTISEMENT
  1. Menghentikan deforestasi, melindungi sisa hutan, dan melakukan rehabilitasi DAS secara menyeluruh
  2. Perbaikan tata ruang berbasis risiko, sistem peringatan dini, edukasi, dan pelibatan masyarakat.
Peneliti hidrologi UGM, Dr. Hatma SuryatmojoDiskusi 'Pengelolaan Hutan dan Mitigasi Bencana' di Auditorium Fakultas Kehutanan UGM. Foto: dok. UGM

"Bencana ini bukan kegagalan alam melainkan kegagalan dalam implementasi dan penegakan hukum terhadap regulasi konservasi dan juga tata ruang yang sudah ada," ujarnya.

Tak hanya Hatma, pakar lain yang hadir dalam diskusi ini sepakat menilai bahwa lemahnya penegakan hukum, minim koordinasi pusat-daerah, serta kebijakan kehutanan yang tidak konsisten, memperparah kondisi.

Dr. Belinda Arunarwati Margono dari Badan Informasi Geospasial (BIG) menilai bencana dipicu banyak faktor-dari kondisi geomorfologi, cuaca ekstrem, hingga perilaku manusia. Ia menyoroti lemahnya koordinasi pusat dan daerah hingga membuat deteksi dini tidak diikuti tindakan nyata.

"Komunikasi antara pemerintah pusat dan daerah belum terbangun sehingga deteksi dini sudah ada, tetapi tidak ada mekanisme termasuk kepedulian atau pemahaman faktor-faktor ini membuat bencana tetap terjadi," katanya.

Sedangkan Guru Besar Kehutanan UGM, Prof. San Afri Awang, menilai pengawasan pembangunan kehutanan selama ini masih sangat lemah karena komunikasi pemerintah daerah dan pusat kurang baik.

"Terlihat dari pemerintah daerah yang tidak menjalankan penegakan hukum seperti Undang-Undang Konservasi Tanah dan Air (KTA) yang bahkan tidak dianggarkan. Permasalahan serius ini perlu diantisipasi ke depannya," tegasnya.

Pakar konservasi tanah dan air dari Fakultas Kehutanan UGM Prof. Ambar Kusumandari menyoroti aspek konservasi tanah dan air serta pengelolaan DAS pada kejadian bencana yang menimpa tiga provinsi di Sumatra tersebut.

Disebutkan olehnya, empat dari sepuluh DAS besar yang terdampak memang memiliki tingkat kerawanan tinggi sejak awal. Ditambah kondisi tanah yang berada di jalur patahan, risiko longsor makin tinggi ketika deforestasi terjadi cepat.

"Dengan deforestasi yang sangat cepat, bencana hidrometeorologis akan semakin meningkat yang memiliki dampak besar dari berkurangnya keanekaragaman hayati, menghilangnya sumber cadangan air," terangnya.

Prof. Ahmad Maryudi menekankan bahwa deforestasi di sejumlah taman nasional Sumatra mayoritas terjadi akibat aktivitas manusia dan diperburuk oleh kebijakan yang tidak konsisten serta lemahnya kapasitas implementasi. Ia menyebut kondisi ini sebagai akumulasi dari policy inflation dan capacity collapse.

Dosen Kehutanan UGM lainnya, Prof. Ahmad Maryudi, menambahkan bahwa laju deforestasi yang terjadi di taman nasional di Sumatra umumnya terjadi karena faktor antropogenik atau bencana akibat tindakan dan kelalaian manusia.

"Tidak bisa dinafikan bahwa deforestasi ini salah satu kontributor dari bencana tetapi deforestasi ini akumulasi bertahun-tahun dan disebabkan adanya policy inflation dan capacity collapse," tekannya.

Karenanya, para pakar sepakat mendesak penghentian deforestasi, rehabilitasi DAS besar-besaran, penataan ruang berbasis risiko bencana, serta edukasi dan pelibatan masyarakat sebagai upaya memutus siklus bencana hidrometeorologi di Sumatra.




(rns/fay)