Pengembangan obat selama ini membutuhkan waktu hingga belasan tahun. Perusahaan farmasi mengklaim bahwa Artificial Intelligence bisa mempercepat proses tersebut.
Puluhan tahun industri kesehatan tunduk pada belasan tahun proses pengembangan obat. Sedangkan penyakit terus bermunculan dan puluhan hingga jutaan nyawa dipertaruhkan.
Dilansir dari Nature, Senin (16/10/2023) pengembangan obat umumnya membutuhkan 12-15 tahun. Dimulai dari menginisiasi program hingga mendapatkan persetujuan pemasaran.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Proses yang panjang ini bisa memakan biaya hingga USD 2,5 miliar (Rp 39,2 miliar). Sedangkan, biasanya hanya ada satu dari sepuluh obat yang biasanya lolos tahap seleksi pemasaran.
Tahun lalu, tepatnya pada bulan Februari, Boston Consulting Group (BCG) melaporkan sebuah penelitian pemeriksaan terhadap 20 perusahaan farmasi AI baru pada tahun 2010-2021.
Hasilnya, delapan dari 15 kandidat obat berhasil lolos tahap uji klinis hanya dalam waktu tidak lebih dari satu dekade. Sementara itu, lima di antaranya lolos dengan lebih cepat.
"AI bisa menghemat waktu dan biaya setidaknya 25-50% pada tahap penemuan obat hingga praklinis," ujar Wellcome, pemberi dana penelitian BCG, seperti dikutip detikINET.
Insilico Medicine, sebuah perusahaan farmasi yang berbasis di Kota New York dan Hong Kong, melaporkan bahwa mereka telah memanfaatkan kecerdasan buatan dalam penemuan obat penyakit fibrosis paru idiopatik. Hasilnya, hanya membutuhkan waktu 30 bulan untuk selesai di tahap praklinis. Tahapan penemuan obat sendiri dimulai dari tahap penemuan, praklinis, dan terakhir adalah uji klinis.
Namun, penemuan di atas barulah hasil klaim dari perusahaan-perusahaan farmasi. Sampai mereka mendapatkan verifikasi resmi secara independen, sampai penemuan mereka terbit sebagai literatur peer-reviewed dan sudah diautentikasi oleh para peneliti yang tidak terafiliasi dengan mereka, maka kehati-hatian masih diperlukan dalam menanggapi penemuan tersebut.
*Artikel ini ditulis oleh Khalisha Fitri, peserta Program Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.
(fay/fay)