Ada beberapa pertanyaan eksistensial yang membuat manusia berpikir tentang alam semesta. Salah satunya mungkin tentang apakah Bumi kita akan ditelan Matahari suatu saat nanti.
Saat Matahari berevolusi dari waktu ke waktu, ia akan memanas dan meningkatkan laju fusi nuklirnya, yang pada akhirnya mengeluarkan begitu banyak energi sehingga lautan di Bumi akan mendidih.
Setelah 1 atau 2 miliar tahun lagi, kemungkinan proses ini akan "mensterilkan" kehidupan di planet kita sepenuhnya. Selanjutnya, 4-5 miliar tahun kemudian, Matahari akan membengkak menjadi raksasa merah, memasuki fase evolusi berikutnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ketika itu terjadi, Merkurius dan Venus pasti akan tertelan, tapi bagaimana dengan nasib Bumi? Ini adalah salah satu pertanyaan menarik namun kita pun tidak sepenuhnya yakin akan jawabannya. Inilah yang kita ketahui sejauh ini berdasarkan penjelasan sejumlah ilmuwan.
Sebagian besar dari kita, ilmuwan maupun non-ilmuwan, memiliki gambaran yang relatif akurat tentang Tata Surya di kepala kita. Di pusat Tata Surya terletak Matahari yang diorbit oleh empat planet berbatu bagian dalam, masing-masing bergerak dalam orbit elips yang stabil.
Di luar itu, terletak sabuk asteroid, kumpulan besar massa kecil (relatif terhadap planet) yang ditendang oleh interaksi gravitasi, di mana mereka dapat menabrak Matahari, keluar dari Tata Surya, atau terganggu ke orbit lain di mana masa depan interaksi menunggu mereka.
Di luar sabuk asteroid terletak empat planet gas raksasa, yang juga bergerak dalam orbit elips yang stabil, dan memiliki sistem bulan sendiri yang mengorbitnya.
Yang terluar, Neptunus, "menggembala" sabuk Kuiper, yang mungkin menjadi rumah Planet Sembilan, dan diikuti oleh awan Oort di luarnya. Ini adalah titik awal yang sebagian besar ada di pikiran tentang Tata Surya, dan sebagian besar benar.
Demikian pula, ilmuwan berpikir kita memahami bagaimana Matahari, yang menjadi jangkar Tata Surya kita, akan berevolusi dari waktu ke waktu.
Pada intinya, ia menggabungkan hidrogen menjadi helium dalam reaksi berantai nuklir. Hasil akhirnya adalah, untuk setiap empat atom hidrogen yang menyatu menjadi atom helium, 0,7% massa pra-fusi diubah menjadi energi, melalui hubungan Einstein yang terkenal, E = mc 2.
"Dengan setiap reaksi fusi yang terjadi, inti kehilangan sebagian bahan bakar hidrogen potensialnya, menyebabkannya sedikit berkontraksi dan memanas. Perubahan kecil itu menyebabkan wilayah inti di mana fusi terjadi perlahan-lahan meluas, dan laju fusi meningkat," kata Ph.D. astrofisikawan Ethan Siegel, dikutip dari Forbes.
Baca juga: Amasia, Benua Baru Gabungan Amerika dan Asia |
Penulis buku "Beyond the Galaxy: How humanity looked beyond our Milky Way and discovered the entire Universe" ini menjelaskan, selama rentang waktu miliaran tahun, output energi Matahari meningkat, sampai inti kehabisan bahan bakar hidrogen sepenuhnya, menyebabkannya berkontraksi, memanas, dan akhirnya memicu fusi helium. Sekitar waktu ini, lapisan luar Matahari mengembang, menghasilkan transformasi menjadi bintang raksasa merah.
Ini adalah model dasar bagaimana Tata Surya kita akan berevolusi dari waktu ke waktu. Saat Matahari membengkak menjadi raksasa merah, lapisan luarnya menjadi lebih rapat, dan akan terlempar, keluar dari Tata Surya seluruhnya, menyebabkan Matahari kehilangan massa.
Selanjutnya: Proses Matahari Menelan Planet
Proses Matahari Menelan Planet
Ketika objek gravitasi pusat di Tata Surya kita berkurang massanya, planet-planet cenderung berputar ke luar, karena gravitasinya lebih longgar. Bumi khususnya, yang saat ini berjarak rata-rata 150 juta kilometer dari Matahari, akan melihat jarak orbitnya meningkat sebanding dengan hilangnya massa Matahari.
"Matahari juga bertambah besar, dan jika itu menciptakan terlalu banyak hambatan pada planet yang mengorbit, planet itu akan berputar ke Matahari itu sendiri. Pertanyaan besarnya adalah, dengan dua proses yang saling bersaing ini saling berhadapan, mana yang akan menang untuk setiap planet? Perhitungan yang paling mudah adalah menghitung laju kehilangan massa, laju outspiral orbit, dan radius Matahari sebagai fungsi waktu, dan melihat apa yang terjadi," beber Siegel.
Penelitian komprehensif terbaru di bidang ini dilakukan oleh Klaus-Peter Schroder dan Robert C. Smith pada tahun 2008, di mana mereka menemukan bahwa sekitar 7,6 miliar tahun lagi, Matahari akan kehilangan sekitar 33% dari massanya saat ini.
Baca juga: Matahari Rupanya Bisa 'Tertidur' |
Ini akan menyebabkan orbit Bumi mengembang secara signifikan, sebanding dengan sisa massa Matahari. Sementara Merkurius dan Venus akan ditelan oleh Matahari yang mengembang, Bumi tidak.
Namun, Bumi juga mengalami interaksi pasang surut dari Matahari raksasa, di mana satu bagian Bumi mengalami gaya total yang berbeda dari bagian yang berlawanan, dan itu menyebabkan Bumi kehilangan beberapa momentum sudut orbital tambahan.
"Apa yang penulis temukan adalah: Bumi tidak akan bisa lepas dari engulfment, meskipun ada efek positif dari kehilangan massa Matahari. Untuk bertahan dari fase ekspansi Matahari ketika mencapai titik menjadi raksasa merah, setiap planet membutuhkan radius orbit minimum saat ini sekitar 1,15 AU. Dengan kata lain, Mars pasti aman, tetapi Bumi mungkin dilahap oleh Matahari kita," jelas Siegel.
Tentu saja, kesimpulan ini hanya valid jika semua asumsi sebelumnya yang kita buat tentang Tata Surya dan Matahari benar. Asumsi pertama yang perlu kita tantang adalah gagasan bahwa planet-planet mengorbit dalam orbit elips yang stabil.
Jika gravitasi Newton benar, dan kita hanya memiliki satu planet yang mengorbit Matahari seperti titik, ini akan menjadi pangkal kasusnya. Tetapi di Tata Surya, di mana objek memiliki ukuran nyata dan terbatas, dan di mana ada banyak objek yang saling tarik-menarik, orbit ini menjadi kacau dan akan berkembang seiring waktu.
Menurut ilmuwan Dimitri Veras dari University of Warwick yang mempelajari evolusi Tata Surya, ada sekitar 1% kemungkinan bahwa satu atau lebih dari empat planet bagian dalam orbitnya menjadi tidak stabil karena tarikan gravitasi timbal balik di antara mereka.
"Jika planet-planet bertahan pada fase ini, maka ketika Matahari meninggalkan deret utama, ia akan menelan Merkurius dan Venus dan mungkin Bumi. Mars akan bertahan, tetapi permukaannya akan berubah dan atmosfernya yang tipis kemungkinan akan terkikis," kata Veras.
Yang diperlukan untuk mengetahui apakah Bumi akan bertahan, adalah mengidentifikasi dan menggunakan formula pasang surut yang benar untuk memodelkan interaksi antara Matahari dan Bumi saat Tata Surya dan Matahari itu sendiri berevolusi dari waktu ke waktu.
Pada akhir fase raksasa merah, Matahari diperkirakan akan mengeluarkan sebagian besar lapisan luarnya yang tersisa, sementara wilayah inti berkontraksi untuk membentuk katai putih: sisa bintang yang sebagian besar terdiri dari karbon dan oksigen.
Bahkan jika Bumi bertahan dari fase raksasa merah dan menetap di orbit yang tampaknya stabil di sekitar bintang katai putih yang tersisa, masih ada kemungkinan bahwa planet kita akan hancur.
Mengingat bahwa setidaknya Jupiter akan tetap ada, dan berpotensi ada sejumlah massa lainnya, interaksi timbal balik antara objek-objek ini dapat mengganggu Bumi untuk bergerak lebih dekat ke katai putih, di mana kehancuran total planet kita tetap merupakan prediksi yang potensial.