Kita mengenal sinar gamma identik dengan salah satu superhero Avengers, Hulk. Dia berubah menjadi raksasa hijau akibat terpapar radiasi sinar gamma. Sinar gamma ada di dunia nyata lho. Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) bahkan sedang mengembangkan radiasi Gamma berbasis skandium-46 pengganti kobalt-60.
Dikutip dari Live Science, Senin (4/4/2022) sinar gamma adalah bentuk radiasi elektromagnetik, seperti gelombang radio, radiasi inframerah, radiasi ultraviolet, sinar-X, dan gelombang mikro.
Salah satu materi yang membentuk petir ini dapat diproduksi oleh empat reaksi nuklir yang berbeda, yaitu fusi, fisi, peluruhan alfa, dan peluruhan gamma. Sinar gamma juga umum digunakan untuk keperluan medis. Lalu, untuk apa BRIN mengembangkan radiasi gamma?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Peneliti Ahli Utama, Pusat Riset Teknologi Radioisotop, Radiofarmaka dan Biodosimetri (PRTRRB) - Organisasi Riset Tenaga Nuklir (ORTN) - BRIN Duyeh Setiawan mengatakan, radiasi sinar ini digunakan untuk gamma scanning dalam proses produksi.
Untuk diketahui, keberlangsungan proses produksi menjadi salah satu faktor yang sangat penting dan harus dijaga dengan serius dalam dunia industri, agar tidak terjadi kerusakan.
Hal ini dikarenakan kerusakan pada peralatan akan mengganggu proses produksi dan pada akhirnya menimbulkan kerugian. Ditambah lagi jika kerusakan yang terjadi tidak diketahui lokasinya, sehingga solusi yang mungkin ditawarkan adalah menghentikan proses produksi, kemudian dicari sumber kerusakannya.
Solusi seperti ini tentunya sangat dihindari oleh pelaku industri, karena hal ini akan menghentikan proses produksi dan mendatangkan kerugian yang besar bagi pihak industri.
Agar terhindar dari kemungkinan terjadinya kerugian dikarenakan berhentinya produksi untuk mendeteksi kerusakan peralatan, maka diperlukan teknologi deteksi kerusakan yang dapat digunakan tanpa mengganggu aktivitas produksi, yaitu gamma scanning.
Selanjutnya: Mengenal Gamma Scanning dan Proses Pengembangannya
Mengenal gamma scanning
"Deteksi gamma scanning ini sering disebut sebagai uji tak merusak, karena deteksi ini dapat dilakukan tanpa harus membongkar/merusak peralatan yang diduga mempunyai kerusakan. Bahkan teknologi deteksi ini dapat digunakan tanpa menghentikan proses produksi yang sedang berlangsung," kata Duyeh seperti dikutip dari situs BRIN.
Ia menjelaskan, pada prosesnya, gamma scanning ini memanfaatkan sinar gamma dari sumber radiasi kobalt-60 (Co-60). Namun dikarenakan reaktor nuklir di Indonesia tidak dapat memproduksi Co-60, untuk mendapatkan Co-60 harus impor dengan harga yang mahal.
"Fungsi kobalt-60 sebagai sumber radiasi pada proses gamma scanning dapat digantikan dengan sumber radiasi gamma lainnya yang berasal dari radioisotop skandium-46 (Sc-46)," ujarnya.
Radioisotop Sc-46 dapat diproduksi dari reaktor riset yang dimiliki Indonesia. Perlu diketahui bahwa saat ini, Indonesia telah memiliki tiga reaktor riset yakni Triga Mark 2000 di Bandung, Reaktor Serba Guna GA. Siwabessy di Serpong, dan reaktor Kartini di Yogyakarta.
Dengan memberdayakan reaktor riset tersebut maka sumber radiasi dari radioisotop Sc-46 menjadi terjangkau dan limbahnya dapat digunakan kembali melalui proses radiasi ulang. Untuk itulah, jelas Duyeh, PRTRRB melakukan pengembangan Sumber Radioaktif Tertutup skandium-46 untuk Gamma-Ray Scanning.
"Pengembangan ini meliputi pembuatan desain sumber radiasi Sc-46 melalui teknik aktivasi netron di Reaktor Triga 2000 Bandung, sebagai upaya untuk menguji keandalan sumber Sc-46 dalam deteksi kerusakan peralatan di industri, terutama pada kolom distilasi atau penyulingan," ujar Duyeh.
Proses pengembangan
Duyeh mengungkapkan scanning kolom distilasi atau penyulingan bejana dapat dilakukan menggunakan radioisotop gamma bersegel (sealed) tertutup dan detektor radiasi. Baik sumber sinar gamma dan detektor dipindahkan bersamaan dalam pergerakan pelan di sisi yang berlawanan, di sepanjang eksterior unit yang dilakukan scan.
"Profil kepadatan relatif dari isi kolom akan diperoleh yaitu area yang mengandung bahan dengan kepadatan yang relatif tinggi, seperti cairan dan/atau logam, memberikan intensitas radiasi yang relatif rendah, sedangkan area dengan kepadatan yang relatif rendah, seperti ruang uap di antara baki, menghasilkan tingkat intensitas radiasi yang tinggi," sambungnya.
Melalui teknik ini jelas Duyeh, didapatkan informasi signifikan tentang kondisi seluruh proses dan bejana itu sendiri serta dapat mengidentifikasi malfungsi instalasi dalam kolom distilasi seperti baki yang rusak atau hilang dari posisinya (collapsed trays), tingkat banjir dan lokasinya (flooding), tetesan cairan dan berbusa (foaming), tingkat cairan dan penyumbatan. Dengan demikian, teknisi dan operator dapat menentukan status kolom tersebut, dan membuat pengaturan pemeliharaan dan pemecahan masalah untuk mencegah penutupan darurat.
"Karena prosesnya tidak melibatkan kontak langsung dengan bagian dalam bejana, proses ini juga menghindari kemungkinan korosi, suhu atau masalah tekanan," jelas Duyeh.
Sementara itu, kolom proses adalah komponen penting dalam penyulingan minyak mentah untuk mengubahnya menjadi bahan bakar yang berharga, serta dalam mempertahankan sistem pendingin pabrik.
Hasil penelitian ini sedang dilakukan uji coba di beberapa industri. BRIN saat ini bermitra dengan PT Catra Energi Perkasa (PT CEP) bekerja sama dengan PT Pertamina di Balikpapan dan PT Chandra Asri di Cilegon, menggunakan Sc-46 untuk gamma scanning. Teknologi ini digunakan untuk mendiagnosis produksi Petrokimia apakah masih bagus atau tidak produksinya.