Kategori Berita
Daerah
Layanan
Detik Network
detikInet
AI Ciptakan Miliarder Baru, tapi Pekerja Justru Terancam Tergusur

AI Ciptakan Miliarder Baru, tapi Pekerja Justru Terancam Tergusur


Anggoro Suryo - detikInet

Ilustrasi AI di bisnis
AI Ciptakan Miliarder Baru, tapi Pekerja Justru Terancam Tergusur Foto: dok. Freepik
Jakarta -

Ledakan kecerdasan buatan bukan cuma mengubah arah industri teknologi, tetapi juga peta kekayaan global. Sepanjang 2025, boom pasar saham berbasis AI dilaporkan menambah lebih dari USD 500 miliar ke harta para taipan teknologi Amerika Serikat, sekaligus melahirkan lebih dari 50 miliarder baru di seluruh dunia.

Angka yang impresif, namun di baliknya tersimpan ironi besar: teknologi yang mencetak kekayaan ini juga semakin agresif menggantikan peran manusia, demikian dikutip detikINET dari Techspot, Selasa (30/12/2025).

Forbes mencatat, mayoritas miliarder baru dari sektor AI berasal dari perusahaan SaaS, pengembang foundation model, hingga startup yang secara terang-terangan menawarkan solusi pengganti tenaga kerja manusia di sektor jasa dan manufaktur. Artinya, sumber kekayaan baru ini kerap berangkat dari efisiensi ekstrem--yang sering kali berarti pengurangan peran manusia.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

ADVERTISEMENT

Beberapa nama baru langsung mencuri perhatian. Bret Taylor, mantan eksekutif Facebook, dan Clay Bavor, eks petinggi Google, masuk jajaran miliarder lewat startup AI mereka, Sierra. Perusahaan ini mengembangkan agen AI percakapan yang dirancang untuk menggantikan customer service manusia, dan akan dipamerkan di CES 2026 untuk klien seperti Rivian dan The North Face. Di sisi bisnis, ini efisien. Di sisi sosial, ini menandai ancaman nyata bagi jutaan pekerja layanan pelanggan di seluruh dunia.

Fenomena serupa terlihat pada Mercor, perusahaan rekrutmen berbasis AI yang didirikan Brendan Foody, Adarsh Hiremath, dan Surya Midha. Ketiganya kini menjadi miliarder termuda di daftar Forbes. Ironisnya, perusahaan yang bergerak di bidang perekrutan justru mengandalkan AI untuk mengotomatisasi proses yang sebelumnya sangat bergantung pada tenaga manusia.

Sementara itu, arus modal ke sektor AI terus membesar. Sepanjang 2025, investasi ke startup AI mencapai USD 202,3 miliar, melonjak sekitar 75% dibanding tahun sebelumnya. Hampir 40% dana itu mengalir ke perusahaan foundation model, dengan OpenAI dan Anthropic menyedot 14% dari total investasi AI global. Konsentrasi modal ini memperkuat satu tren: AI semakin dikuasai segelintir perusahaan dan individu.

Para pemain lama ikut menuai hasil besar. Elon Musk mencatat lonjakan kekayaan hampir 50% menjadi USD 645 miliar, menjadikannya manusia pertama dengan kekayaan di atas USD 500 miliar. CEO Nvidia Jensen Huang menikmati kenaikan harta USD 41,8 miliar seiring valuasi Nvidia menembus USD 5 triliun, sementara Larry Page dan Jeff Bezos juga mencatatkan lonjakan signifikan.

Namun, di saat segelintir orang berpesta kekayaan, dampak AI bagi pekerja biasa justru kian mengkhawatirkan. Otomatisasi, agen AI, dan sistem generatif bukan lagi wacana, melainkan produk komersial yang siap memangkas biaya--dan tenaga kerja. AI mungkin menjadi mesin uang paling efektif dekade ini, tetapi juga berpotensi memperlebar jurang ketimpangan.




(asj/afr)







Hide Ads