Sidang Isbat akan digelar Jumat (1/3) sore ini untuk menentukan awal puasa 2022. Dalam menentukan awal Ramadan, selain menggunakan metode rukyatul hilal (pengamatan), dilakukan juga metode hisab (perhitungan). Berikut ini adalah penjelasan mengenai perbedaan keduanya.
Rukyatul hilal adalah melakukan pengamatan ketampakan hilal atau Bulan sabit saat Matahari terbenam menjelang awal bulan pada kalender Hijriah.
Sedangkan hisab dapat diartikan dengan perhitungan secara matematis dan astronomis untuk menentukan posisi Bulan dalam menentukan dimulainya awal bulan pada kalender Hijriah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lalu, metode manakah yang lebih akurat? Rukyatul hilal atau hisab? Dijelaskan Prof Dr Thomas Djamaluddin, MSc, ahli astronomi dan astrofisika dari Pusat Riset Antariksa Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), posisi rukyat dan hisab setara, bisa saling menggantikan atau saling melengkapi.
"Tanda-tanda awal bulan yang berupa hilal bisa dilihat dengan mata (rukyat) dan bisa juga dihitung (hisab) berdasarkan rumusan keteraturan fase-fase Bulan dan data-data rukyat sebelumnya tentang kemungkinan hilal bisa dirukyat," ujarnya saat live Instagram 'Penentuan Ramadan dan Hari Raya Menurut Astronomi' di akun Instagram @pussainsa_lapan beberapa waktu lalu.
Bukan Penyebab Perbedaan
Terkadang, awal bulan Ramadan atau Idul Fitri di Indonesia bisa terjadi perbedaan. Tahun ini, para astronom sudah mengantisipasi akan adanya potensi perbedaan awal puasa. Hal ini bukan karena perbedaan metode hisab dan rukyat, karena seperti sudah disebutkan, prinsip perhitungan antara hisab dan rukyat hilal, secara astronomi, adalah sesuatu yang saling melengkapi. Adapun yang menyebabkan perbedaan awal puasa adalah perbedaan kriteria yang digunakan setiap organisasi Islam di Indonesia.
"Secara umum, perbedaan itu banyak faktor. Tapi akar masalahnya karena perbedaan kriteria," kata Prof Djamal.
Dia menjelaskan, hal ini sudah dibuktikan pada 1998. Ramadan dan idul Fitri di tahun tersebut memperlihatkan bahwa perbedaan yang terjadi di masyarakat Indonesia bukan karena hisab dan rukyat. Pada 1998, di Nahdlatul Ulama (NU) ada perbedaan sesama ahli rukyat ketika ketinggian bulan kurang dari satu derajat.
Di Pengurus Besar (PB) NU ada yang menolak kesaksian itu karena bulan terlalu rendah. Tapi, di NU Jatim bisa diterima. Jadi, sesama ahli rukyat dalam memahami rukyat yang sama pun berbeda. Perbedaan itu memang terjadi karena persoalan mendefinisikan kriteria hilal.
Sesama ahli hisab di Muhammadiyah dan Persis pun sama. Mereka berbeda penetapannya karena kriteria. Muhammadiyah mendasarkan pada asal sudah berwujud atau ketinggian di atas nol derajat sudah bisa masuk awal Ramadan. Tapi di Persis, mendasarkan kriteria kemungkinan bisa dirukyat. Jadi, kalau belum terlihat, belum bisa dirukyat.
Maka, pada 1998, di kalangan NU lebarannya pun ada perbedaan. Begitu juga dengan Muhammadiyah yang berlebaran 29 Januari dan Persis 30 Januari.
Hikmahnya, kasus 1998 menjadi contoh nyata bahwa permasalahan perbedaan awal puasa dan Idul Fitri bukan karena hisab dan rukyat, tapi perbedaan kriteria. Ini juga menjadi titik terang untuk menyatukan perbedaan tersebut.
"Pemerintah mengupayakan ada satu sistem tunggal sehingga keterbukaan semua pihak bisa membuat satu kalender yang mapan: ada otoritas tunggal, kriteria tunggal, dan batas tanggal yang disepakati," kata Prof Djamal.
Menurutnya, kriteria pada dasarnya sesuatu yang berdasarkan ijtihad dan bisa diangkat untuk mempersatukan. Dia berharap kriteria yang baru akan membuka jalan untuk mencapai penetapan kriteria tunggal tersebut yang akan dijadikan rujukan semua pihak dan mempersatukan umat.
(rns/fay)