Jakarta -
Teori konspirasi telah ada selama puluhan tahun. Beberapa di antaranya cenderung bertahan bahkan berkembang. Dalam beberapa tahun terakhir, terutama di tengah situasi pandemi COVID-19, teori konspirasi baru juga bermunculan.
Berikut ini lima teori konspirasi baru yang semuanya telah dibantah oleh sains, seperti dikutip dari News Week. Mungkin ada yang pernah kalian dengar?
Vaksin bikin badan jadi magnet
Salah satu teori konspirasi konyol yang telah menyebar sejak awal pandemi adalah bahwa efek samping vaksin COVID-19 menyebabkan tubuh orang menjadi magnet.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Informasi yang salah ini disebarkan dalam bentuk video di berbagai media sosial. Di Indonesia juga banyak beredar video ini terutama menyebar di grup-grup WhatsApp. Dalam video ditampilkan orang-orang yang mengaku setelah vaksinasi, benda logam seperti koin dan magnet kulkas menempel ke lengan mereka. Orang-orang dalam video itu mengklaim bahwa vaksin telah menyebabkan efek ini.
Salah satu versi teori bahkan mengklaim bahwa unsur magnet sengaja ditambahkan ke vaksin untuk membuat bahan-bahannya bergerak ke seluruh tubuh.
Teori konspirasi ini lalu dibantah secara luas, salah satunya menurut Centers for Disease Control and Prevention di Amerika Serikat. Mereka menyatakan vaksin COVID-19 tidak mengandung logam atau bahan apa pun yang akan menghasilkan medan magnet.
Carl Fichtenbaum, seorang spesialis penyakit menular di University of Cincinnati College of Medicine mengatakan, jika ada kemungkinan magnetisme yang disebabkan oleh vaksin COVID-19, tentu saja ini akan muncul dalam uji coba awal.
"Yang menarik bagi saya adalah saya belum pernah melihat siapa pun meletakkan kompas di lengan mereka karena kompas jika berada di bawah medan magnet akan terganggu," tambahnya.
5G sebabkan COVID-19
Teori konspirasi terkait pandemi lainnya adalah 5G menyebabkan sakit COVID-19. Inti dari teori tersebut adalah sinyal ponsel 5G yang dikirim oleh menara 5G menjadi penyebab pandemi COVID-19.
Menurut teori konspirasi tersebut, menara 5G menekan sistem kekebalan tubuh atau menyebarkan SARS-CoV-2 melalui gelombang radio sehingga menyebabkan orang yang terpapar terjangkit COVID-19.
Seperti yang dilaporkan oleh lembaga pemeriksa fakta Full Fact, tidak ada klaim 5G menyebabkan COVID-19 yang didukung oleh bukti kuat. Dan bagaimanapun, pandemi virus Corona melanda negara-negara yang bahkan tidak memiliki infrastruktur 5G.
Dr Simon Clarke, profesor mikrobiologi seluler di University of Reading mengatakan kepada BBC pada April tahun lalu bahwa teori ini benar-benar sampah.
"Sistem kekebalan manusia dapat terganggu oleh segala macam hal termasuk lelah atau tidak makan, pola makan. Selain itu, gelombang radio 5G berada di ujung bawah spektrum elektromagnetik, dan kurang kuat dibandingkan cahaya atau sinar Matahari. Mereka tidak cukup kuat untuk merusak sel," sebutnya.
Selanjutnya: Chip COVID Ditanam ke Tubuh dan Manusia Pernah Tinggal di Mars
Ladang turbin angin sebabkan kanker
Yang satu ini mungkin bukan teori konspirasi, tetapi klaim yang disebarkan oleh mantan Presiden AS Donald Trump. Berbicara di acara penggalangan dana Partai Republik pada tahun 2019, Trump saat itu mengatakan kepada hadirin, "Jika di dekat tempat tinggal Anda ada turbin angin, rumah Anda baru saja turun 75% nilainya. Dan mereka mengatakan kebisingan ladang turbin menyebabkan kanker."
Ladang turbin angin adalah serangkaian turbin angin yang berada di lokasi yang sama untuk memproduksi energi dari energi angin. Ladang angin yang besar bisa terdiri dari beberapa ratus turbin tunggal dan mencakup luasan area tertentu hingga ratusan mil persegi.
American Cancer Society mengatakan kepada The New York Times pada tahun 2019 bahwa mereka tidak menemukan bukti kredibel yang mengaitkan kebisingan dari turbin angin kincir angin sebagai penyebab kanker.
Sebelumnya pun, efek kesehatan yang disebabkan turbin angin telah menjadi topik perdebatan dengan istilah tidak resmi Sindrom Turbin Angin (Wind Turbine Syndrome). Istilah ini muncul diduga mengacu pada gejala seperti kurang tidur dan kelelahan mental bagi mereka yang tinggal kurang dari dua kilometer dari turbin angin. Sindrom tersebut tidak diakui sebagai kondisi gangguan kesehatan oleh National Institutes of Health.
Sebuah laporan dalam Journal of Occupational and Environmental Medicine pada tahun 2014 menemukan bahwa studi epidemiologis telah menunjukkan hubungan antara tinggal di dekat turbin angin dan gangguan. Tetapi laporan itu menambahkan bahwa, berdasarkan tinjauan kritis terhadap laporan lain, tidak ada hubungan yang jelas atau konsisten yang terlihat antara kebisingan dari turbin angin dan penyakit yang dilaporkan, atau indikator lain yang membahayakan kesehatan manusia.
AS bikin chip COVID yang ditanam ke tubuh
Awal tahun ini ada klaim bahwa Departemen Pertahanan AS membuat chip pendeteksi COVID-19 yang dapat disuntikkan ke dalam tubuh sehingga menimbulkan ketakutan di kalangan orang yang mempercayainya.
Klaim ini bermula dari pernyataan Matt Hepburn, seorang dokter militer yang sebelumnya bekerja untuk DARPA, Badan Proyek Penelitian Lanjutan Pertahanan AS. Dalam sebuah wawancara di stasiun TV CBS, Hepburn pernah mengatakan telah diperintahkan untuk memberangus pandemi dan membahas proyek penelitian seperti sensor yang menggunakan sinyal cahaya untuk mendeteksi penyakit.
Hepburn mengatakan, wawancaranya tersebut dipelintir dan menyebabkan kesalahpahaman publik. "Tidak ada microchip, tidak ada benda elektronik, tidak ada barang-barang yang dirumorkan itu. Teknologi itu tidak akan dapat memberi tahu jika kita terjangkit COVID-19," ujarnya.
Dijelaskan Hepburn, teknologi itu sebenarnya adalah hidrogel yang dapat dibuat untuk bereaksi dan menyala jika merasakan peningkatan kadar laktat jaringan di bawah kulit, yang mungkin mengindikasikan jika seseorang akan jatuh sakit. Singkatnya, teknologi itu sama sekali bukan microchip pendeteksi COVID.
Manusia pernah tinggal di Mars dan merusaknya
Teori ini viral lewat sebuah video di TikTok. Video ini memperoleh ratusan ribu like. Intinya, teori tersebut menyatakan bahwa Mars berwarna merah karena debu dari ledakan nuklir. Ada bukti bahwa pernah ada air yang mengalir di planet ini yang telah mengering akibat perbuatan manusia yang merusak.
Namun teori tersebut tidak bertahan lama, sebagian karena rentang waktu yang tidak masuk akal. Fosil manusia purba di Afrika berasal antara 6 juta dan 2 juta tahun yang lalu, menurut Museum Nasional Sejarah Alam Smithsonian, sedangkan masa lalu Mars yang berair adalah miliaran tahun yang lalu.
Selain itu, Mars berwarna merah karena permukaannya tertutup oksida besi yang juga dikenal sebagai karat, dan bukan debu nuklir. Mengutip sebuah laporan dari jurnal Nature pada tahun 2004, alasan kondisi karat di Mars disebabkan suhu tidak cukup panas untuk melelehkan oksida besi sehingga membiarkannya tenggelam ke inti planet, tidak seperti di Bumi.
"Saya tidak tahu penjelasan lain untuk Mars yang kini membusuk," kata John Murray di Open University di Milton Keynes Inggris saat itu.