Pernahkah Anda bertanya-tanya bahwa musim penghujan di Indonesia tak lagi melulu di bulan 'ber-ber'. Ya, maksudnya adalah di kisaran September, Oktober, November hingga Desember. Namun hujan atau bahkan banjir bisa saja tiba-tiba menerjang di bulan Juni atau Agustus yang dulunya identik sebagai musim panas.
Itulah bukti sahih tanda-tanda perubahan iklim (climate change)! Menurut Ketua Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) Fabby Tumiwa, dampak nyata perubahan iklim adalah munculnya cuaca ekstrim yang tak lagi bisa diprediksi seperti sebelumnya.
"Kita ingat beberapa waktu lalu di bulan Agustus harusnya musim panas malah hujan deras. Bahkan di bulan Agustus-September kalau gak salah di Kalimantan itu sudah mulai banjir. Nah salah satu yang disebabkan perubahan iklim itu adalah cuaca ekstrim. Jadi tidak saja kalau musim panas suhunya tinggi tapi juga pola cuaca yang berubah," ujar Fabby saat ditemui di sela Media Camp Huawei Indonesia di Raja Ampat, Papua Barat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kondisi cuaca tak menentu inilah yang diakibatkan karena adanya peningkatan temperatur dunia. Tentu saja, dunia sadar akan ancaman perubahan iklim yang menghadang dan tengah berupaya untuk menghindari krisis yang lebih parah.
Para ahli pun sepakat bahwa dunia harus membatasi kenaikan temperatur global tidak lebih dari 1,5 derajat celcius hingga tahun 2030 mendatang. Hal ini yang kemudian pada tahun 2015 ada yang namanya persetujuan Paris atau Paris Agreement, dimana Indonesia juga turut meratifikasi kebijakannya.
![]() |
"Intinya RI ingin mengurangi emisi gas rumah kaca, dan RI sebagai anggota G20 itu juga jadi kontributor utama gas rumah kaca. Di Glasgow acara COP26 (Konferensi Perubahan Iklim) kemarin mau disepakati aturan mainnya karena saat ini kita hanya punya waktu menurut para ahli kurang dari 10 tahun untuk mencegah kenaikan temparatur itu tak lebih dari 1,5 derajat celcius," papar Fabby.
"Sebab dalam 8-9 tahun mendatang itu yang namanya carbon budget, jadi karbon yang masih masih bisa dikeluarkan untuk tidak melebihi tracehold itu akan habis. Oleh karena itu, kita hanya punya waktu kurang dari 10 tahun sehingga carbon budgetnya tidak terlampaui. Nah inilah pentingnya persetujuan Glasgow ini, jadi kemarin Glasgow ini menekankan urgensi untuk menekan kenaikan temperatur global di bawah 2 derajat," imbuhnya.
Dimana salah satu kesepakatan di COP26 Glasgow kemarin adalah mulai mengurangi pembangkit listrik tenaga uap dan menghapus subsidi energi fosil, dan di saat bersamaan mulai mempersiapkan sumber energi terbarukan yang ramah lingkungan.
Dampak Terburuk
Lantas pertanyaan yang kemudian muncul adalah, bagaimana jika kita gagal menekan kenaikan temperatur global minimal sampai 1,5 derajat celcius pada tahun 2030? Terlebih dengan kondisi sekarang saja dampak perubahan iklim sudah cukup nampol dengan munculnya anomali dan cuaca ekstrim.
Dikatakan Fabby, dampak terburuk yang bisa muncul tentunya akan lebih berbahaya lagi. Jangan sampai hal ini malah menjadi mimpi buruk masyarakat dunia.
"Kalau dari kajian para pakar itu sejatinya punya batas tracehold 2 derajat, tapi kalau dilihat 2 derajat maka dampak sosial ekonomi dan ekologinya jauh lebih besar dan sebenarnya secara global membuat negara-negara pulau kecil akan tenggelam karena permukaan air laut naik. Belum lagi ancaman peningkatan cuaca ekstrim, seperti hujan dan badai dengan intensitas dan frekuensi yang semakin tinggi," tukasnya.
Artinya kerugian yang ditimbukan semakin besar. Maka bisa dibilang, 8-9 tahun mendatang merupakan tahun krusial bagi warga dunia untuk berbenah memperbaharui sumber energi yang dimanfaatkannya. Jangan lagi bergantung pada sumber energi fosil yang menimbulkan efek rumah kaca.
Jadi ini benar-benar harus diupayakan, bukan 2 derajat tetapi 1,5 derajat. Perlu ada upaya kolektif antar negara dan perlu didorong negara-negara G20 karena berkontribusi 85%. Termasuk dari sektor industri lewat inovasi energi terbarukan yang ramah lingkungan serta teknologi baterai dalam pemanfaatan PLTS (pembangkit listrik tenaga surya).
Green Planet
Kebutuhan mendesak dunia akan energi terbarukan pun membuat Huawei tertantang untuk menguji teknologi yang diusungnya. Disampaikan CEO Huawei Indonesia Jacky Chen, kebijakan global yang juga menjadi salah satu prioritas Huawei untuk Indonesia adalah penyediaan technology for green planet, teknologi untuk bumi Indonesia yang hijau.
"Keseriusan kami untuk membantu seluruh sektor di Indonesia menjawab isu mendesak yaitu perubahan iklim dan target netral karbon pada 2060, kami menghadirkan unit bisnis baru Huawei Digital Power. Kehadiran unit bisnis ini akan makin melengkapi solusi TIK yang kami hadirkan yang selaras dengan komitmen 'I DO'," lanjutnya.
Huawei Digital Power memiliki sekitar 6.000 karyawan dan sekitar 60% di antaranya fokus terhadap R&D untuk melayani sepertiga populasi dunia di lebih dari 170 negara di dunia. Di sektor ketenagalistrikan dan energi terbarukan, Huawei terus sukses mempertahankan pangsa pasar global nomor satu untuk inverter dan solusi Solar PV.
Simak Video "Video: Banjir di Bojonegoro, Mobil Warga Terseret Derasnya Aliran Air"
[Gambas:Video 20detik]
(afr/afr)