Peretasan, penipuan, dan berbagai tindak kejahatan lainnya masih terus berlanjut di WhatsApp. Korbannya mulai dari warga biasa, artis, sampai pejabat. Gara-gara peraturan yang lemah?
Menurut Dr. Ir. Agung Harsoyo MSc.,MEng, lemahnya pengaturan adalah penyebab terjadinya hal ini. Anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) periode 2015-2018, di sinilah pentingnya penerapan aturan Know Your Customer (KYC).
"Dengan hanya menerapkan kewajiban melapor, tidak ada kewajiban bagi WhatsApp untuk menerapkan aturan Know Your Customer (KYC). Kewajiban KYC di industry telekomunikasi hanya diberlakukan bagi operator telekomunikasi. WhatsApp, Telegram, Facebook dan berbagai layanan OTT yang beroperasi di Indonesia tidak ada kewajiban KYC. Sehingga menurut saya regulasi yang diterapkan pemerintah untuk layanan OTT masih sangat longgar," jelas Agung.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di sisi lain, pengajar di Sekolah Teknik Elektro dan Informatika - ITB tersebut sangat menyayangkan kengganan WhatsApp untuk bekerja sama dengan operator telekomunikasi. Kerja sama tersbut merupakan amanat PP 46/2021 dan PM 5/2021.
Akibatnya, WhatsApp tidak terupdate terkait pergantian nomor telpon pengguna. Dampaknya, pelaku tindak kejahatan di WhatsApp menjadi nyaman menjalankan aksinya, karena merasa dapat dengan mudah menghilangkan jejak.
Kerentanan WhatsApp sebagai platform komunikasi juga digarisbawahi oleh Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN). Kepala Biro Hukum dan Komunikasi Publik BSSN Brigjen TNI Berty B.W. Sumakud melihat tidak adanya kerja sama dengan operator telekomunikasi berakibat nomor yang sudah tidak aktif, masih bisa digunakan di WhatsApp. "Banyak nomor seluler yang sudah tidak aktif, tapi masih bisa digunakan di WhatsApp." tegas Berty.
Jenderal Bintang satu di BSSN tersebut menilai WhatsApp menerapkan end-to-end encryption dengan tidak bijak, karena tidak dibarengi kerja sama dengan aparat penegak hukum, kementerian, dan/atau lembaga yang berwenang.
Bukannya melindungi komunikasi masyarakat, tetapi menyulitkan memberantas aksi penipuan dan tindak kejahatan. Pelaku kejahatan dan penipuan di platform tersebut merasa aman karena komunikasi mereka telah terenkripsi secara end-to-end.
Muara dari semua permasalahan tersebut adalah masyarakat sebagai konsumen yang menjadi korban. Rizal E. Halim selaku Ketua Badan Pelindungan Konsumen Nasional (BPKN) menyoroti tidak adanya pusat layanan konsumen dan pusat pengoperasian WhatsApp di Indonesia. Jika terjadi permasalahan termasuk kasus penipuan dan peretasan, konsumen tidak tau bagaimana melaporkan hal ini dengan mudah ke WhatsApp.
"Pusat layanan konsumen itu tujuannya memberikan kemudahan kepada konsumen. WhatsApp kan menyelenggarakan kegiatan usaha di Indonesia. Mereka menghasilkan uang dari data pelanggan yang dikelolanya. Walaupun tidak membayar langsung, tetapi masyarakat pengguna itu kan konsumen mereka. Harusnya ada pusat layanan konsumen atau pusat pengoperasian layanan yang bisa dihubungi. Ini hak konsumen," jelas Rizal.
Agar tidak semakin banyak masyarakat selaku konsumen yang dirugikan, BPKN meminta Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Kementerian Kominfo dengan tegas mengatur agar bank dan lembaga keuangan lainnya tidak menggunakan WhatsApp untuk mengirimkan autentikasi, notifikasi, dan promosi.
"Modus kejahatan di WhatsApp ini jelas menyasar rekening tabungan dan dompet digital masyarakat. Saya fikir, sektor perbankan, jasa keuangan, dan enterprise pada umumnya wajib mengutamakan penggunaan SMS untuk autentikasi. Notifikasi dan promosi juga menggunakan SMS demi melindungi konsumen. Ini penting agar tidak ada lagi konsumen yang menjadi korban. Kominfo juga perlu mengatur berbagai jenis layanan OTT ini, termasuk kewajiban kerja sama dengan operator telekomunikasi," tutup Rizal.
Baca juga: Cara Mengamankan WhatsApp Agar Tidak Disadap |
(asj/asj)