Pengecualian informasi pertanahan
Contoh konkrit yang dapat ditunjukkan untuk lebih memperjelas kemungkinan tersebut misalnya adalah kasus yang melatarbelakangi pengujian materiil atas ketentuan-ketentuan pengecualian informasi publik sebagaimana diatur dalam UU KIP yang saat ini sedang diperiksa oleh Mahkamah Konstitusi dengan register perkara Nomor:88/PUU-XVIII/2022.
Inti fakta hukum perkara diatas adalah ditolaknya permohonan informasi pemohon oleh badan publik yang berwenang menyelenggarakan pendaftaran tanah, padahal informasi yang dimohonkan oleh pemohon adalah informasi mengenai suatu benda (tanah) yang secara hukum (Pasal 35 ayat 1 UU No. 1 Tahun 1974 & Pasal 128 BW) justru menjadi haknya.
Pengecualian informasi tersebut dengan demikian harus disebut sebagai pengecualian informasi yang bersifat menegasikan hak.
Penegasian hak-hak perseorangan atas informasi publik tanpa mempertimbangkan hak-hak orang itu atas benda yang menjadi haknya adalah bentuk lain dari perbuatan yang memisahkan secara tegas antara hukum publik dan hukum privat.
Ada banyak situasi dimana informasi publik yang dikuasai badan publik tidak hanya terkait dengan kepentingan-kepentingan yang murni publik, melainkan juga kepentingan privat, seperti halnya kepentingan pemohon informasi tersebut di atas atas informasi yang tercantum dalam sertifikat dan/atau warkah tanah yang dikuasai badan-badan publik penyelenggara pendaftaran tanah.
Hukum tanah kita bagaimanapun mengakui keberadaan hak seseorang atas tanah bukan hanya berdasarkan alat-alat bukti hak sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang pendaftaran tanah, tetapi juga hak atas tanah berdasarkan hukum, sebagai titel hak, walaupun subyek haknya tidak ikut terdaftar sebagai salah satu pemegang hak. Ketentuan Pasal 128 BW yang mengandung norma hukum bahwa hak seseorang atas suatu benda harus dihormati lepas dari benda itu terdaftar atas nama siapa pun merupakan bukti valid yang memperkuat dalil ini.
Pengaturan pengecualian informasi publik yang bersifat terlalu umum bahkan telah melahirkan praktik pengecualian informasi publik yang vulgar tidak berangkat dari hakikat hubungan hukum berikut hak-hak yang lahir daripadanya, demikian pula telah memicu pengabaian terhadap ratio asas keterbukaan (publiciteit) dalam penyelenggaraan pendaftaran tanah sebagaimana dianut UUPA.
Fakta tersebut di sisi lain merupakan bentuk lain dari pengaturan dan penerapan aturan yang mengabaikan hukum sebagai sistem. Tujuan ultim UU KIP adalah untuk melindungi informasi dari mereka yang tidak berhak, atau akontrario wajib memberikannya kepada mereka yang berhak.
Penentuan mengenai siapa yang berhak dan tidak berhak atas informasi tidak bisa hanya didasarkan pada makna leksikal bahasa aturan sebagaimana diatur dalam legislasi, melainkan berdasarkan hakikat hubungan hukum berikut segala akibat hukumnya.
Dengan diperkuat oleh pernyataan bahwa perbedaan antara publik dan privat hanya bersifat gradual, bukan esensial, konklusi suatu hubungan hukum sebagai publik atau privat sebenarnya hanya bahasa kias yang sekedar mencerminkan bobot daripada totalitas.
Kewajiban badan publik untuk memberikan informasi pertanahan dengan dengan demikian harus dibaca sebagai kewajiban hukum publik yang didasarkan bukan hanya pada kewajiban untuk melindungi kepentingan yang murni publik, tetapi juga kewajiban badan publik untuk menghormati dan melindungi hak-hak warga negara yang lahir dari hubungan-hubungan hukum privat atau hubungan-hubungan hukum horizontal diantara sesama warga negara; suatu tanggung jawab hukum badan publik yang lahir dari penyatuan antara hukum publik dan hukum privat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Halaman selanjutnya: Pedoman uji konsekuensi >>>
Simak Video "UU PDP Segera Diberlakukan, Kominfo Imbau Masyarakat Tetap Jaga Data Pribadi"
[Gambas:Video 20detik]