4. Bisa Nyasar Layanan Video Call Juga
Menurut pengamat media sosial Enda Nasution, dampak yang ditimbulkan dari gugatan RCTI terhadap UU Penyiaran, tidak hanya masyarakat tidak bisa live di YouTube hingga Instagram lagi, tapi bisa lebih luas lagi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Enda menjelaskan definisi penyiaran yang menggunakan frekuensi publik itu diatur pemerintah, sehingga perlu ada izin dan lain sebagainya. Sedangkan, stream atau live video menggunakan jaringan internet di platform media sosial, tidak termasuk dalam definisi penyiaran yang ada saat ini.
Menurut Enda gugatan RCTI yang sampai menyasar fitur live di media sosial (medsos) dinilai kurang tepat. Bila apa yang dimaksud RCTI dan iNews bahwa penyiaran juga mencakup internet, itu bisa berujung dilarangnya juga layanan video call yang saat ini banyak dipakai masyarakat dalam berkomunikasi.
"Tentunya tidak tepat ya, karena itu tadi live stream di media sosial maupun menggunakan perangkat digital lainnya termasuk dalam definisi-definisi yang sama, kalau video call juga kan bisa-bisa dianggap masuk dalam definisi itu, jadi sudah pasti tidak tepat," tuturnya.
Selain itu, gugatan RCTI ini dinilai tidak mengikuti perkembangan zaman yang mana sekarang sudah masuk ke era digital.
"Bukan masalah kebebasan berekspresi aja ya, tapi juga kemudahan untuk komunikasi, lalu kemudian juga penggunaan video dan live stream untuk bisnis UMKM dan lain sebagainya untuk meeting menggunakan Zoom kan jadi terhambat semuanya," ungkap Enda.
5. Pemerintah Tolak Ide RCTI
Gugatan RCTI dan iNews yang khawatir muncul konten yang bertentangan dengan Pancasila sehingga harusnya tunduk ke UU Penyiaran. Namun usulan yang dijadikan alasan menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) itu ditolak pemerintah. Menurut Kominfo, konten audio video internet tunduk ke UU terkait, seperti UU tentang internet hingga UU Pornografi.
"Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, layanan audio visual OTT tidak serta-merta dapat disamakan dengan kegiatan penyiaran dan tidak dapat dikategorikan sebagai bagian dari penyiaran dalam ketentuan Pasal 1 ayat (2) angka 2 Undang-Undang Penyiaran," kata Dirjen PPI Kominfo, Ahmad Ramli.
Hal itu tertuang dalam risalah sidang MK yang dikutip detikcom, Kamis (27/8/2020). Ahmad Ramli membeberkan perbedaan penyiaran televisi versus video di internet, yaitu:
1. Karena karakteristik utama layanan OTT audio visual adalah layanan yang dapat diakses oleh pengguna layanan melalui jaringan telekomunikasi internet. Berbeda dengan penyiaran, yang merupakan layanan pemancaran dan penerimaan siaran yang membutuhkan kegiatan yang dinamakan pemancar luasan Konten siaran oleh lembaga penyiaran dan diterima secara serentak dan bersamaan melalui perangkat teknologi penerima siaran.
2. Walaupun Konten yang diberikan oleh lembaga penyiaran juga sama dengan Konten yang diberikan oleh layanan audio visual OTT, namun tidak bisa serta-merta dikategorikan sebagai kegiatan penyiaran karena penyelenggara penyiaran adalah push service, sedangkan OTT adalah pull service, di mana pemirsa itu bisa memilih sendiri layanan.
3. Konten bersifat netral sehingga pengaturannya bergantung pada media mana Konten tersebut disalurkan, misalnya film yang ditayangkan pada bioskop tunduk pada aturan perfilman. Jika ditayangkan oleh lembaga penyiaran, maka tunduk pada aturan penyiaran. Sedangkan jika dapat diakses melalui layanan OTT, maka tunduk pada aturan telekomunikasi, internet, Undang-Undang Pornografi, dan lain-lain. Sehingga dalil- dalil Para Pemohon yang meminta tafsir penyiaran dianggap telah dibacakan, sudah sepatutnya ditolak oleh Majelis Yang Mulia.