Kisah inspiratif datang dari seniman Bali bernama Dewa Putu Berata. Ketekunannya membuat gamelan Bali dilirik developer game dunia dan menjadi musik untuk game Playstation 5, Kena: Bridge of Spirits.
Seniman asal Banjar Pengosekan, Desa Mas, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar itu telah membawa gamelan Bali hingga dilirik developer game dunia. Gamelan Bali dari Sanggar Seni Cudamani menjadi musik pengiring dalam video game Kena: Bridge of Spirits besutan Ember Lab dari Amerika Serikat (AS).
Game petualangan tersebut bakal menjadi salah satu yang bisa dimainkan dalam PlayStation 5 (PS5) dan PS4 yang dikembangkan oleh Sony Interactive Entertainment.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pihak Ember Lab sendiri yang meminta saya untuk terlibat (dalam mengisi musik game tersebut)," kata Dewa Berata kepada detikInet di Sanggar Seni Cudamani, Gianyar, Sabtu (26/6/2021).
Direktur Sanggar Seni Cudamani ini menuturkan, game Kena: Bridge of Spirits diproduksi oleh Ember Lab, perusahaan yang didirikan oleh Josh Grier dan Mike. Komposer dalam game tersebut bernama Jason Gallaty.
Pembicaraan gamelan Bali sebagai musik pengiring game tersebut sudah mulai pada 2018 lalu. Waktu itu, pihak Ember Lab mempunyai ide untuk mengangkat tema game berupa mengembalikan roh ke asalnya. Di Bali juga terdapat ritual serupa yang lebih dikenal dengan istilah 'Somia'.
Menurut Dewa Berata, cerita dalam game Kena: Bridge of Spirits terdapat adegan pembunuhan, tetapi bermaksud untuk mengembalikan roh. Sebab yang dilawan oleh Kena adalah batu atau kayu yang terperangkap roh jahat. Konsep inilah yang dikenal Dewa mirip seperti ritual Mecaru di Bali yang bermaksud untuk 'nyomia' atau mengembalikan roh jahat ke asalnya.
"Tentunya karena banyak ada spirit hutan, kayu yang terlibat di sana jadi Jason Gallaty mempunyai ide untuk memasukkan unsur-unsur instrumen natural, gamelan natural. Kebetulan dia find out dia menemukan jegog, (gamelan) di Bali Barat," jelasnya.
![]() |
Tertarik dengan gamelan tersebut, Jason Gallaty kemudian melakukan komunikasi dengan Gamelan Sekar Jaya di Amerika. Saat itu, istri dari Dewa Berata Emiko Saraswati Susilo selaku direktur. Akhirnya, pihak Gamelan Sekar Jaya menghubungi Dewa Berata berkaitan dengan hal tersebut.
Dewa Berata akhirnya mengundang pihak Ember Lab untuk datang untuk jalan-jalan ke Redwood National and State Parks. Selama perjalanan naik gunung di sana, Dewa Berata saling bertukar pikiran dengan pihak Ember Lab.
Pada 2019, Sanggar Seni Cudamani melakukan tur ke Amerika. Pada saat tour tersebut pihak Ember Lab langsung menonton pertunjukan tur tersebut dan akhirnya sangat tertarik dengan gamelan Sanggar Seni Cudamani. Bahkan, game yang awalnya diisi dengan musik bambu menjadi menggunakan gamelan.
"Jadi peran saya pertama waktu itu sebelum menggarap yaitu menjelaskan fungsi-fungsi musik di Bali. Di Bali ada banyak musik, ada gong gede," kata Dewa Berata.
Tak hanya itu, pihak Ember Lab langsung tertarik untuk melakukan perekaman langsung di Los Angeles pada saat tur Sanggar Seni Cudamani tersebut. Pihak Sony juga langsung datang dan menyatakan ketertarikannya.
"Kita langsung buat recording di situ di studionya Adam Berg, teman saya di sana, memang dia agennya recording. Ya berawal di sana lalu kita terus bicarakan story-nya, lalu saya berkunjung ke studio Ember Lab saya lihat bagaimana mereka memproses gambar, ceritanya," kisah Dewa Berata.
Setelah melakukan perekaman, Dewa Berata akhirnya melakukan pembicaraan dengan Ember Lab dan mulai melakukan eksperimen. Ember Lab melakukan eksperimen menggunakan alat musik klasik barat. Dewa Berata kemudian membuat seperti vokal dengan ritme gamelan. Kedua hasil eksperimen ini kemudian digabungkan oleh Jason Gallaty.
Halaman selanjutnya: Meracik gamelan untuk musik game...
Meracik musik gamelan untuk game di Bali
Tak hanya itu, Jason Gallaty juga sempat datang ke Bali untuk membuat rekaman pada awal September 2019. Rekaman dilakukan di Studio RRI Denpasar dengan melibatkan seluruh peserta grup, baik dari Sanggar Seni Cudamani maupun grup komposer Jason Gallaty.
Saat rekaman tersebut, Dewa Berata menyewa gamelan jegog dari Kabupaten Jembrana, Bali. Gamelan itu kemudian di-compose dengan membuat berbagai instrumen.
"Itu waktu ke Bali direkam seluruhnya, yang dia inginkan dan saya inginkan. Setelah itu diproses di sana, lagi saling kirim untuk feedback, saya diminta untuk feedback," jelasnya.
Selain itu, berbagai instrumen lainnya untuk game tersebut juga dibuat oleh Dewa Berata bersama Sanggar Seni Cudamani di rumahnya. Rekaman dilakukan saat dini hari memasuki pukul 01.00 Wita agar sepi sehingga tidak mengganggu hasil rekaman.
"Karena kalau ke studio itu masalahnya kita sulit karena ke Denpasar jarak jauh, apalagi situasi sulit begini (di tengah pandemi COVID-19). Saya putuskan di pondok (rumah) saja dan saya kirim rekamannya dan dia (Jason Gallaty) senang, rekamannya bersih, bagus, jadi saya lanjutkan," kata dia.
"Mungkin ada satu minggu yang lalu selesai (buat rekaman). Setiap malam saya bikin bersama teman-teman, berapa orang, enam orang, kadang-kadang 10 orang, kadang-kadang tiga orang, tergantung kebutuhannya. Dapat satu kirim, itu proses-proses yang terjadi," tutur Dewa Berata.
Hingga saat ini, Dewa Berata masih mengerjakan musik video game tersebut sesuai dengan petunjuk yang diberikan oleh Jason Gallaty dari Amerika Serikat. Rencananya, Dewa Berata bakal berangkat ke Amerika Serikat pada September mendatang.