Mesin Makin Pintar, Manusia Makin Bodoh: Bahaya di Balik Video Pendek
Hide Ads

Mesin Makin Pintar, Manusia Makin Bodoh: Bahaya di Balik Video Pendek

Fino Yurio Kristo - detikInet
Selasa, 25 Nov 2025 12:45 WIB
Ilustrasi pengguna smartphone
Foto: Shutterstock
Jakarta -

Studi Griffith University di Australia menganalisis 71 survei yang melibatkan lebih dari 98.000 subjek dan menemukan bahwa mengonsumsi video berdurasi pendek berhubungan dengan penurunan rentang perhatian dan kontrol pengendalian diri.

"Dulu saya mengira kerusakan utama dari media sosial adalah pada kesehatan mental remaja. Sekarang saya percaya kerusakan global terhadap kemampuan manusia untuk memusatkan perhatian mungkin jauh lebih besar dampaknya," tulis psikolog Jonathan Haidt, penulis buku laris The Anxious Generation.

"Umat manusia menjadi semakin bodoh akibat teknologi kita, justru saat mesin-mesin kita jadi semakin pintar. Hal ini bermula segera setelah kita semua mulai membawa smartphone dan menggulir layar," cetusnya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dan itu berlaku untuk segala usia, tak hanya kaum muda. John, mahasiswa usia 27 tahun dari Michigan, mengaku video pendek seperti TikTok serta Reels dan Story di Instagram berdampak buruk bagi dirinya maupun ibunya yang Boomer. Ia sulit menonton TV tanpa meraih ponsel dan tak pernah makan tanpa mengakses medsos.

ADVERTISEMENT

"Di kelas, sulit rasanya fokus pada perkataan profesor selama lebih dari beberapa menit tanpa cek ponsel atau membuka LinkedIn. Rasanya seperti sebuah dorongan paksa," kata John yang dikutip detikINET dari Ny Post.

"Saya melihat kecanduan Facebook pada orang tua dengan efek jauh lebih merugikan bagi mereka daripada saya, karena setidaknya saya menyadari taktik-taktik medsos. Orang tua Boomer saya tak paham," sebutnya. Ia memperkirakan ibunya yang sudah pensiun menghabiskan tiga hingga empat jam di Facebook setiap hari.

Peneliti Griffith University menemukan hubungan negatif antara perhatian dan konten pendek terjadi secara konsisten di semua kelompok usia dan semua platform media sosial.

"Paparan berulang terhadap konten bertempo cepat dan berstimulasi tinggi dapat berkontribusi pada pembiasaan, di mana pengguna jadi kurang peka terhadap tugas kognitif lebih lambat dan butuh usaha lebih, seperti membaca, memecahkan masalah, atau pembelajaran mendalam. Proses ini mungkin bertahap melemahkan kemampuan otak mempertahankan perhatian pada satu tugas," tulis mereka.

Para pendidik melihat hal ini terjadi. "Siswa sering tidak bisa duduk diam atau menyimpan pemikiran dalam kepala," ujar Murphy Kenefick, guru sastra di sebuah SMA di Nashville.

Beberapa guru juga mulai mengenali gejala yang sama pada diri sendiri. Seorang mantan guru sejarah SMA, Jordan Snow, membaca ratusan buku demi mendapat dua gelarnya namun kini kesulitan membaca buku akibat medsos. "Saya tidak mampu menonton film tanpa mengambil ponsel hanya untuk menggulir layar," katanya.

Survei tahun 2024 oleh Common Sense Media menemukan mayoritas (51%) orang dewasa muda berusia 18 hingga 22 tahun percaya bahwa medsos telah mengurangi rentang perhatian mereka.

Hiba Belghazi, mahasiswa psikologi di Montreal, mengatakan YouTube sudah seperti orang tua ketiga saat tumbuh dewasa dan ia mengembangkan kebiasaan scrolling saat bosan atau stres. Namun, ia bertekad membaca 52 buku tahun ini dan hampir mencapai target. Rahasianya? Menghapus aplikasi medsos dan YouTube.

"Muncul emosi-emosi yang selama ini saya pendam, kegelisahan yang selama ini saya redam dengan YouTube. Itu adalah keinginan untuk melakukan sesuatu. Kita sangat meremehkan betapa besarnya potensi manusia yang terbuang dan energi yang terkuras oleh aplikasi-aplikasi ini," ujarnya.




(fyk/rns)
Berita Terkait