Tergantung para nakhoda perusahaannya, mau atau tidak? Namun yang pasti, cloud sudah bukan lagi sesuatu yang di awang-awang. Dari segi edukasi β secara perlahan β semakin banyak perusahaan di Indonesia yang melek cloud, dan secara teknologi pun ia semakin terjangkau.
"Dulu kalau ngomong cloud itu memindahkan server, dari physical server ke virtual machine. Tapi makin ke sini, arah cloud bukan lagi Infrastucture as a Service (IaaS), Platform as a Service pun dimungkinkan," kata Antonius Agus Susanto, Partner Business & Development Lead Microsoft Indonesia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Nah, sekarang bisa kita lakukan dalam hitungan hari. Banyak hal yang dulu kita gak kebayang tetapi sekarang ini memungkinkan karena cloud," ungkapnya.
Microsoft sendiri tengah menggencarkan Cloud Solution Provider (CSP) di Indonesia. Program yang baru berjalan 2 bulan itu memungkinkan perusahaan untuk memanfaatkan beragam solusi bisnis, mulai dari Office 365, Azure, SharePoint, Skype, CRM online dan lainnya. Dimana biayanya berdasarkan pay per use alias bayar kalau terpakai.
Patara Yongvanich, Managing Director Rhipe Asia Tenggara selaku partner indirect Microsoft untuk CSV Program menilai, ini menjadikan cloud jadi semakin merakyat. Sebab untuk bisa eksis ke cloud, perusahaan tak perlu menyiapkan investasi awal yang kelewat besar.
"Karena dengan mekanisme pay per use maka investasinya tak lagi masuk sebagai capex (capita expenditure/belanja modal), melainkan opex (operational expenditure) yang dibayarkan per bulan," lanjutnya.
Apakah CSP terbilang mahal atau murah? Patara lebih memilih untuk menonjolkan value yang bisa didapat oleh para pelanggan. Dimana saat ini Microsoft sudah menggandeng lebih dari 50 partner lokal di Indonesi yang siap memberikan support untuk berbagai hal, termasuk Intellectual Property.
"Pasti ada natural concern tentang konektivitas, keamanan dan ketersediaan. Ini merupakan isu yang selalu ada di pikiran banyak orang. Tapi hal penting yang ingin kita selalu komunikasikan adalah meyakinkan mereka untuk bisa hijrah ke cloud dan mendapatkan benefit dari situ, ini yang penting," ungkap pria Thailand yang memiliki istri wanita Indonesia itu.
Meski demikian, Patara sadar bahwa selain benefit, faktor biaya juga bakal jadi pertimbangan utama calon pelanggan cloud. Namun ia optimistis β dari pengalamannya menemui banyak perusahaan β IT dianggap sudah jadi bagian investasi penting bagi suatu perusahaan. Dan jika hal itu suatu saat hilang atau digantikan secara manual maka dari segi bisnis akan sangat signifikan pengaruhnya.
"Jadi dengan semua itu kita sejatinya bisa menekan biaya serta bisa membuktikan bahwa investasi yang sudah dikucurkan akan terbayar dengan return on investment (ROI) yang didapat. Kita juga bisa membuktikan ke calon pelanggan bahwa memang sudah mengimplementasikan solusi-solusi tersebut dan bagaimana implementasinya ke pelanggan lain," jelasnya saat ditemui detikINET di sela event Microsoft Worldwide Partner Conference 2016 di Toronto, Kanada.
Peluang dari Pembajakan
Indonesia sendiri dianggap sebagai pasar menjanjikan untuk pasar cloud. Generasi milenial begitu menonjol di sini, belum lagi penetrasi mobile serta digital lifestyle yang sangat tinggi, seiring booming media sosial dan e-commerce.
Di sisi lain, yang tak kalah menarik juga, Indonesia masih melekat cap sebagai negara dengan pembajakan software tertinggi di dunia. Dimana menurut data Business Software Alliance (BSA) angkanya selalu di atas 80% setiap tahun.
"Jadi ini agak lucu, karena jika Anda melakukan analisi finansial, perkembangan ASEAN selalu di-drive dari Indonesia. Digital lifestyle Indonesia sangat diperhitungkan, tapi pembajakan juga sangat tinggi. Tapi di negara dengan pembajakan tinggi ini juga sejatinya menyimpan peluang untuk mengajak mereka hijrah dan mendapatkan peluang dengan solusi cloud tanpa ada investasi besar di depan," kata Patara.
![]() |
Optimisme serupa pun datang dari Sigit Hermansyah, Direktur Astra Graphia Information Technology (AGIT) selaku partner direct Microsoft di Indonesia. Menurutnya, peluang terbuka lebar untuk cloud dari masih menjamurnya pembajakan software di Indonesia muncul dari kondisi dimana perusahaan itu susah mengelola aset software mereka.
"(Jangankan pengguna software bajakan). Ketika perusahaan membeli software asli saja itu harus disimpen segala sesuatunya, dari invoice sampai kardusnya untuk memudahkan audit. Coba bayangkan mereka beli berapa lisensi dan itu pun gak tahu juga berapa yang terpakai, belum lagi kalau ada reorganisasi dan segala macam. Tetapi kalau kita menggunakan cloud, kita hanya pay per use. Ini salah satu yang sebetulnya jadi sesuatu yang menarik bagi perusahaan, gak harus pakai capex dan pastinya lebih secure dari sisi compliance dan audit," papar Sigit kepada detikINET.
Program Cloud Solution Provider (CSP) Microsoft sendiri disebut Sigit punya sejumlah hal menarik dibandingkan layanan cloud dari vendor lain. Di antaranya secara platform di Azure dapat menggunakan berbagai solusi, bahkan pakai Linux sudah bisa di sana.
"Jadi secara arstitektur sangat advance. Kedua, bagi kami sebagai partner, dari segi bisnis dukungan dari Microsoft begitu besar, entah itu bangun kompetensi bisnis atau saat maju ke customer. Dan Microsoft juga memiliki brand awareness kuat di Indonesia," tambahnya.
Terakhir, CSP Microsoft cocok bagi UKM ataupun perusahaan rintisan yang sekarang tengah ngetren dengan sebutan startup. Sebab, secara kebutuhan lebih sederhana. Adapun harga penggunaannya mulai USD 4 untuk satu akun email per bulan dan bisa di-scale up tergantung keinginan pelanggan. (ash/fyk)