Dipimpin oleh Morgan Stanley, para bank tersebut menilai Uber dari sisi nilai valuasinya yang memang tinggi, padahal kerugian mereka sangat besar di negara seperti China atau India. Lembaga Federal Reserve dan Office of the Comptroller of the Currency (OCC) sedang meneliti masalah tersebut.
Dikutip detikINET dari Reuters, adalah sesuatu yang langka perusahaan yang masih muda dan belum menguntungkan seperti Uber mampu mendapatkan pinjaman uang yang besar. Pinjaman biasanya hanya lancar mengalir pada perusahaan yang punya sejarah panjang mendapatkan keuntungan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Laporan dari Bloomberg yang mengutip sumber terkait menyebutkan kalau Uber secara total menderita kerugian USD 800 juta atau di kisaran Rp 10,7 triliun di kuartal III 2016.
Di kuartal sebelumnya, kerugian Uber menurut Bloomberg malah lebih dari angka USD 800 juta tersebut. Sehingga di kuartal III 2016, kerugian sebenarnya bisa sedikit ditekan.
Adapun pendapatan di kuartal III 2016 mencapai USD 1,7 miliar, naik dari angka USD 1,1 miliar di kuartal sebelumnya. Perusahaan yang didirikan CEO Travis Kalanick ini diperkirakan akan meraih pendapatan total USD 5,5 miliar di tahun fiskal 2016.
Uber memang menerapkan prinsip yang dianut banyak startup, yaitu tumbuh cepat terlebih dulu, baru mencari uang. Maka tarif agresif pun diterapkan untuk menarik pelanggan. Namun tetap dianggap kurang sehat jika mereka terlalu banyak mengeluarkan subsidi bagi pengemudi.
Kerugian besar sepertinya tidak hanya dialami oleh Uber. Bisa dibilang, hampir semua layanan ride sharing saat ini masih dalam tahap 'bakar' duit untuk memperluas pasarnya, belum sama sekali menghasilkan laba. Mereka mengincar laba dalam jangka panjang. (fyk/rns)