Teknologi kecerdasan buatan (AI) semakin lekat dengan kehidupan generasi muda. Dari menulis naskah, membuat desain, hingga merancang konten, AI kini menjadi bagian dari proses kreatif sehari-hari. Namun di tengah derasnya tren ini, muncul satu pertanyaan penting: bagaimana Gen Z bisa tetap autentik di era AI?
Pertanyaan tersebut menjadi sorotan utama dalam diskusi bertajuk Galaxy Z Series Generation of Creation yang menghadirkan Andi Airin, Head of MX Product Marketing and Samsung Indonesia, serta kreator visual Aulion dan Co-Founder Ende Indoensia Bianca Victoria. Mereka sepakat, AI boleh canggih, tapi autentisitas manusia tetap tidak tergantikan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
AI Boleh Pintar, Tapi Harus Tetap Bijak
Airin menegaskan bahwa setiap hasil yang dihasilkan AI memiliki disclaimer dan hak cipta yang jelas. Samsung, kata dia, menaruh perhatian besar pada aspek etika dan tanggung jawab penggunaan AI.
"Di balik AI ada sistem yang menghormati hak cipta. Setiap hasil yang dikeluarkan punya referensi dan catatan sumber yang transparan," ujarnya di acara yang berlangsung di Jakarta, Selasa (28/10/2025).
Andi Airin, Head of MX Marketing & Demand Generation, Samsung Electronics Indonesia Foto: Adi Fida Rahman/detikINET |
Namun Airin mengingatkan, AI hanyalah alat bantu. "Tanpa pemikiran manusia, AI hanya menjawab apa adanya. Tapi kalau kita tahu tujuan dan nilai yang ingin dicapai, hasilnya akan jauh lebih bermakna," tambahnya
AI Itu Partner, Bukan Plagiaris
Aulion bercerita bahwa ia sering memakai Gemini AI di Galaxy Z Fold7 untuk membantu brainstorming ide konten. Menurutnya, AI berguna untuk mempercepat dan merapikan proses produksi, bukan untuk meniru.
"Kalau ide besarnya dari kita, AI bisa bantu ngerapihin script dan bikin semua tim lebih efisien. Tapi kalau cuma nyontek hasil AI, ya bukan karya kita lagi," jelas Aulion.
Aulion, Content Creator Foto: Adi Fida Rahman/detikINET |
Ia menekankan pentingnya kejujuran kreatif di era digital.
"Sekarang netizen tuh kayak punya pengadilan sendiri. Begitu tahu ada karya jiplak, langsung viral. Jadi, keaslian itu harga mati," tegasnya.
Sementara itu, Bianca mengandalkan AI untuk mengembangkan ide desain. Ia kerap memakai Gemini AI sebagai mood board digital untuk mengombinasikan warna dan bahan, tapi selalu memastikan bahwa karyanya tetap membawa roh budaya Indonesia.
"Kadang aku nggak jago gambar, tapi bisa jelasin konsep ke Gemini dan lihat hasil visualnya. Tapi produk akhirnya tetap harus mencerminkan nilai lokal," katanya.
Bianca Victoria, Co-Founder Ende Indonesia Foto: Adi Fida Rahman/detikINET |
Bagi Bianca, teknologi bukan alasan untuk meninggalkan identitas. "AI membantu efisiensi, tapi jiwa dari karya tetap datang dari kita," tambahnya.
Ketiganya sepakat bahwa AI tidak bisa menggantikan keaslian manusia. "Autentisitas datang dari nilai dan pengalaman kita sendiri," tegas Airin.
Menurutnya, kreativitas sejati lahir dari pengalaman hidup, empati, dan rasa - hal-hal yang belum bisa ditiru oleh mesin. Samsung pun berkomitmen mengembangkan Galaxy AI dan Google Gemini sebagai partner cerdas yang membantu manusia berpikir lebih luas, bukan menggantikan kreativitas
"Gunakan teknologi untuk mempercepat riset, bukan menyingkat proses berpikir," pungkas Airin.
(afr/rns)














































