Kategori Berita
Daerah
Layanan
Detik Network
detikInet
Miliaran Dolar Jadi 'Sampah'? Sisi Gelap di Balik Megaproyek AI

Miliaran Dolar Jadi 'Sampah'? Sisi Gelap di Balik Megaproyek AI


Fino Yurio Kristo - detikInet

Ilustrasi Data Center
Ilustrasi data center. Foto: Dok. Princeton Digital Group
Jakarta -

Ada sebuah pertanyaan besar membayangi industri teknologi saat ini, yaitu eberapa lama investasi masif dalam infrastruktur AI bisa bertahan? Raksasa teknologi menggelontorkan ratusan miliar dolar untuk infrastruktur AI, terutama data center dan chip yang menggerakkannya.

Mereka menyebutnya investasi yang akan meletakkan dasar bagi AI untuk merombak ekonomi, lapangan kerja, bahkan hubungan pribadi. Tahun ini saja, dikutip detikINET dari CNN, perusahaan teknologi diperkirakan akan menyalurkan USD 400 miliar untuk belanja modal terkait AI.

Bagi perusahaan AI, pertanyaan tentang seberapa sering harus memperbarui atau mengganti chip canggih sangat krusial. Ini terjadi di tengah meningkatnya skeptisisme mengenai apakah AI akan menghasilkan profit cukup besar atau cukup cepat untuk menutup investasi. Kekhawatiran akan gelembung AI atau AI Bubble pun menguat, ketakutan bahwa antusiasme dan pengeluaran untuk AI tak sebanding nilai asli.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Belum jelas berapa lama unit pemroses grafis (GPU) kelas atas, chip yang paling sering digunakan untuk pelatihan dan pemrosesan AI , akan tetap berguna. Beberapa pakar memperkirakan chip AI hanya optimal untuk melatih model bahasa besar (LLM) selama 18 bulan hingga tiga tahun. Sebagai perbandingan, CPU pusat data non-AI tradisional biasanya baru diganti per lima hingga tujuh tahun.

ADVERTISEMENT

Itu sebagian disebabkan karena melatih model AI memberi beban kerja dan panas signifikan, membuat chip lebih cepat aus. Sekitar 9% GPU mengalami kegagalan fungsi dalam setahun, dibanding hanya sekitar 5% pada CPU. Selain itu, tiap generasi baru chip AI berkembang pesat dan lebih efisien, sehingga tak ekonomis menjalankan beban kerja AI pada chip lama meski masih berfungsi.

Tekanan Mencari Pendapatan

Nvidia berargumen sistem software CUDA mereka memungkinkan pelanggan memperbarui software chip yang ada, sehingga berpotensi menunda membeli produk terbaru. Namun ahli tetap mempertanyakan dari mana pendapatan akan berasal untuk membangun kembali infrastruktur pada skala besar saat chip akhirnya harus diganti.

Masalahnya, permintaan jangka panjang untuk AI masih belum jelas. Sebagian besar perusahaan yang mengadopsi teknologi ini belum melihat dampak positif nyata pada profit mereka. Investor ternama Michael Burry , baru-baru ini memperingatkan adanya gelembung AI. Ia berpendapat perusahaan teknologi terlalu melebih-lebihkan masa pakai investasi chip mereka, yang pada akhirnya dapat membebani pendapatan.

Pemimpin industri mulai bicara terbuka. CEO Microsoft, Satya Nadella, mengatakan perusahaan mulai mengatur jadwal investasi infrastruktur agar chip data center tidak usang bersamaan. CFO OpenAI, Sarah Friar, memperingatkan masa depan mereka sebagai pembuat model AI garis depan bergantung pada apakah chip tercanggih bisa bertahan hingga tiga, empat, lima tahun, atau lebih lama.

Pada gelembung sebelumnya, infrastruktur yang dibangun selama masa euforia (seperti kabel serat optik pada era dot-com akhir 1990-an) tetap bisa digunakan bertahun-tahun kemudian meski gelembungnya pecah. Kabel-kabel itu menjadi fondasi internet saat ini.

Namun, gelembung AI diprediksi berbeda. Data center takkan memiliki potensi penggunaan jangka panjang jika tak terus-menerus disuntik investasi chip baru. "Kita tidak hanya membangun pusat data, perusahaan teknologi juga mendorong pembangunan pembangkit listrik untuk mendukung semuanya. Jika hitungan ekonomi tak jalan, akan muncul masalah sosial sangat besar," ujar Mihir Kshirsagar dari Universitas Princeton.




(fyk/fyk)
TAGS





Hide Ads
LIVE