Lebih Baik PP Postelsiar Terlambat Daripada Tidak Sama Sekali
Hide Ads

Lebih Baik PP Postelsiar Terlambat Daripada Tidak Sama Sekali

Anggoro Suryo Jati - detikInet
Selasa, 02 Mar 2021 14:24 WIB
ilustrasi smartphone
Ilustrasi. Foto: Unspslah
Jakarta -

Pengamat telekomunikasi Kamilov Sagala merespon positif kehadiran PP No 46 Tahun 2021 tentang Postelsiar, meski menurutnya kehadiran peraturan tersebut cukup terlambat.

Kamilov, yang mantan anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) itu, menyebut kehadiran PP Postelsiar tersebut sebenarnya sudah terlambat, namun lebih baik daripada tidak ada sama sekali.

"Pengaturan yang dilakukan Pemerintah kepada OTT asing itu terlambat. Sudah banyak OTT asing yang menikmati keuntungan di Indonesia. Tingkat kerugian yang dialami Negara kita ini sudah sangat besar dari keberadaan OTT di Indonesia. Namun terbitnya PP Postelsiar tersebut jauh lebih baik dari pada tidak ada sama sekali regulasi yang mengatur mengenai OTT asing," ungkap Kamilov.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Setelah PP tersebut ada, tantangan selanjutnya bagi Kamilov adalah bagaimana pembuatan aturan turunan dari PP Postelsiar tersebut. Tujuannya tentu agar PP tersebut bisa sejalan UU Cipta Kerja, seperti meningkatkan investasi dan menciptakan lapangan pekerjaan di Indonesia.

Aturan turunan yang dimaksud Kamilov tentu adalah Peraturan Menteri Kominfo mengenai detail pelaksanaan kerja sama penyelenggara OTT dengan penyelenggara telekomunikasi, dan Peraturan Menteri Keuangan mengenai pajak penghasilan atas transaksi perdagangan melalui sistem elektronik yang dilakukan oleh penyelenggara OTT.

ADVERTISEMENT

"Karena selama ini OTT asing tidak pernah diatur, maka Pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan dan Kemenkominfo harus dapat mengantisipasi pembangkangan yang akan dilakukan oleh OTT asing tersebut. Seharusnya OTT asing tersebut bayar triliunan rupiah, tapi jumlah yang diterima negara tidak signifikan. Pemerintah harus bisa mengantisipasi ini," jelasnya.

Pembangkangan ini menurut Kamilov adalah dilihat dari banyaknya OTT asing yang tak berbadan hukum di Indonesia. Selain itu juga bisa dilihat dari rendahnya OTT asing yang mendaftarkan aplikasinya di Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE). Padahal aturan kewajiban pendaftaran ini sudah ada.

"Harusnya regulator dalam hal ini Dirjen APTIKA dapat dengan tegas memaksa agar OTT asing mendaftarkan aplikasinya di Kemenkominfo. Ini kesalahan Dirjen APTIKA karena melakukan pembiaran. Karena dari sisi regulasi, dia diberikan kewenangan untuk mengatur OTT. Namun tak dijalankan," terang Kamilov.

Salah satu dampaknya menurut Kamilov adalah masih banyak konten negatif yang beredar. Menurutnya, Dirjen APTIKA melakukan pembiaran terhadap peredaran konten negatif di OTT asing.

"Lalu mesin pengais (crawling) konten negatif seharga Rp 200 miliar tersebut harusnya juga dievaluasi efektivitasnya. Beli barang yang mahal tapi nggak efektif penggunaannya. Kalau efektif konten negatif seperti LGBT dan pornografi tidak ada lagi," ketusnya.

Sementara untuk melakukan verifikasi pendapatan OTT asing, menurut Kamilov, bisa dilakukan dengan mengawal dan mengevaluasi kewajiban kerja sama dengan operator telekomunikasi, karena data tersebut menurutnya dimiliki oleh operator telekomunikasi.

"Jadi ngapain Ditjen APTIKA melakukan pemborosan uang Negara dan pengadaan perangkat di saat anggaran negara berat. Jangan memaksakan untuk pengadaan alat yang tidak efektif dan tidak mudah dalam operasionalnya," tutup Kamilov.




(asj/fay)