Pengamat telekomunikasi Heru Sutadi menyoroti Peraturan Pemerintah Nomor 46 tahun 2021 mengenai mengenai bidang Pos, Telekomunikasi, dan Penyiaran (Postelsiar). Menurutnya, PP Postelsiar ini belum tegas terhadap pemain Over The Top (OTT) asing.
Sebagai informasi, pemerintah baru saja menerbitkan 49 Peraturan Pelaksana Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, salah satunya Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2021 tentang Pos, Telekomunikasi dan Penyiaran.
"Seharusnya memang arahnya adalah bagaimana PP Postelsiar ini mendukung penciptaan lapangan kerja, membuka keran investasi yang menguntungkan bagi kita dan muaranya adalah ekonomi digital Indonesia tumbuh dan berkembang," ujar Heru, Selasa (23/2/2021).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berbicara kebutuhan spektrum frekuensi dengan penggunaan bersama frekuensi, Heru menilai PP Postelsiar ini sudah menjawab persoalan tersebut. Di regulasi ini juga pemerintah daerah mendukung perkembangan infrstrutktur digital yang dibutuhkan sekarang dan kedepannya.
"Tapi, di sisi lain ada aturan yang juga masih sumir pengaturannya dan seolah yang diawali ketika masih RPP tegas, kemudian berubah. Memang yang menarik adalah bagaimana pengaturan pemain OTT dari PP tersebut," jelasnya.
Heru menyoroti pada Pasal 15, di mana ada tekanan untuk menghapus kata mewajibkan menjadi tidak wajib dalam hal kerja sama antar pemain asing dan pemain lokal.
"Aturan PP yang seharusnya sesuai UU adalah mengatur dan membina penyelenggara telekomunikasi. Dalam PP ini menjadi terbalik dan malah jadi pihak yang diatur oleh penyelenggara OTT karena yang menjadi subyek adalah penyelenggara OTT," ungkap mantan Komisioner BRTI ini.
"Semoga tidak ada kesalahan membuat seolah Indonesia tidak berdaulat mengatur pemain OTT, khususnya asing yang memang mendominasi. Harus ada penjelasan dari pemerintah bahwa OTT asing wajib atau tidak kerja sama dengan pemain lokal. Kalau wajib, akan diatur di mana lagi ketentuan tersebut," tuturnya.
Adapun Pasal 15 di PP Postelsiar berbunyi, Pelaku Usaha baik nasional maupun asing yang menjalankan kegiatan usaha melalui internet kepada pengguna di wilayah Indonesia dalam melakukan kerja sama usahanya dengan penyelenggara Jaringan Telekomunikasi dan/atau penyelenggara jasa Telekomunikasi dilaksanakan berdasarkan prinsip adil, wajar, dan non-diskriminatif, serta menjaga kualitas layanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Direktur Eksekutif ICT Institute ini mengkritisi, seharusnya di PP Postelsiar ditegaskan kepada OTT asing, agar perusahaan tersebut tidak mengeruk dan menjadikan Indonesia 'ATM' saja, tanpa ada kontribusi terhadap negara.
"Pemain OTT lokal dan asing wajib setara agar tercipta equal level playing field. Bahkan sebenarnya sih kalau bisa harus ada keberpihakan bagi pemain lokal. Tapi, harus yang benar lokal, jangan seolah lokal tapi kantor pusat di Singapura atau negara lain," pungkasnya.
(agt/fay)