Masalah Net Neutrality VS Konten Negatif di Indonesia
Hide Ads

Masalah Net Neutrality VS Konten Negatif di Indonesia

Anggoro Suryo Jati - detikInet
Jumat, 19 Feb 2021 16:30 WIB
Ilustrasi koneksi internet
Ilustrasi internet. Foto: shutterstock
Jakarta -

Pengamat industri telekomunikasi Indonesia Heru Sutadi angkat bicara soal isu net neutrality yang dipermasalahkan dalam pembuatan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) mengenai Bidang Pos, Telekomunikasi, dan Penyiaran (Postelsiar) oleh pemerintah Indonesia.

Menurut Heru, yang juga Direktur Eksekutif ICT Institute, Indonesia tidak menerapkan prinsip net neutrality, melainkan hanya mengenal teknologi netral di industri telekomunikasi. Prinsip net neutrality ini dianggap bertentangan dengan RPP Postelsiar, yang bakal mengatur sejumlah penyedia layanan over the top (OTT) asing.

"Saat ini Indonesia hanya mengenal teknologi netral di industri telekomunikasi. Indonesia tak mengenal net neutrality. Masa kita ingin OTT asing menyebarkan konten negatif dan ilegal di Indonesia. Seperti perjudian, pornografi atau LGBT. Penyebaran konten negatif dan ilegal di Indonesia melanggar perundang-undangan yang ada," terangnya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ia menambahkan, jika menerapkan net neutrality, OTT asing bisa menyalurkan konten tanpa adanya kontrol dari pemerintah. Padahal menurutnya, kontrol dari pemerintah itu mutlak diperlukan agar bisa melindungi warganya dari konten negatif dan ilegal.

"Strategi OTT asing masuk ke sejumlah negara termasuk Indonesia tanpa mau mengikuti aturan perundang-undangan yang ada. OTT asing itu ingin membawakan dan mendistribusikan kontennya secara bebas. Tanpa boleh ada yang mengontrol. Di sisi lain, Indonesia tidak mengadopsi net neutrality karena tidak sesuai dengan norma dan perundang-undangan yang ada," ungkap Heru.

ADVERTISEMENT

"Saat ini Indonesia hanya mengenal teknologi netral di industri telekomunikasi. Indonesia tak mengenal net neutrality. Masa kita ingin OTT asing menyebarkan konten negatif dan ilegal di Indonesia. Seperti perjudian, pornografi atau LGBT. Penyebaran konten negatif dan ilegal di Indonesia melanggar perundang-undangan yang ada," jelasnya.

Heru pun menyebut kalau prinsip net neutrality itu sekilas terlihat bagus. Namun jika dilihat lebih dalam, banyak masalah pada prinsip ini. Ia pun menegaskan kalau net neutrality tak ada hubungannya dengan kebebasan berpendapat di Indonesia.

"Salah jika ada yang mengkaitkan net neutrality dengan kebebasan berpendapat. Tanpa adanya net neutrality kita bisa bebas berpendapat di ruang digital. Kampanye bahwa net neutrality akan mengganggu kebebasan berpendapat merupakan hal yang keliru," kata Heru.

Jika Pemerintah mencabut kewajiban kerja sama OTT asing dengan operator telekomunikasi di Indonesia, menurut Heru akan membuat Negara semakin tak berdaya dan tidak memiliki kekuatan di ruang digital. Jika itu sampai terjadi maka Negara sudah tidak memiliki fungsi lagi di ruang digital. Padalah di ruang digital, Negara memiliki kepentingan yang sangat besar dalam melindungi masyarakatnya.

Heru meminta pemerintah berhati-hati dalam memahami net neutrality. Yaitu agar negara tetap berdaulat di ruang digital, dan mewajibkan OTT asing untuk bekerja sama dengan operator telekomunikasi di Indonesia lewat RPP Postelsiar.

"Agar Negara berdaulat, Pemerintah harus tegas mengatur OTT asing. Salah satunya adalah dengan tetap memasukkan kewajiban kerja sama dengan operator telekomunikasi dalam RPP Postelsiar. Untuk itu, pasal kewajiban kerja sama jangan sampai dihilangkan. Dengan kewajiban tersebut diharapkan kedaulatan Negara di ruang digital dapat dijaga oleh Pemerintah. Karena menjaga kedaulatan itu bagian tak terpisahkan dari amanah UU," tutup Heru.

Sebagai informasi, prinsip net neutrality ini adalah prinsip yang mengharuskan penyedia layanan telekomunikasi memberikan perlakuan sama untuk setiap komunikasi yang terjadi di jaringannya, dan tidak melakukan diskriminasi berdasar pengguna, konten, situs, platform, dan sejenisnya.




(asj/fay)