Peraturan Pemerintah Nomor 46 tahun 2021 mengenai mengenai bidang Pos, Telekomunikasi, dan Penyiaran (Postelsiar) dinilai memberikan kebebasan bagi para pemain Over The Top (OTT) asing melenggang berbisnis di Indonesia.
"Nah, ini kan pasal yang diharapkan ada kewajiban OTT kerja sama dengan telco, nggak ada. Semua diserahkan B2B (business to business) dan aromanya lebih ke prinsip net neutrality," ujar Doni Ismanto dari Indotelko Forum.
"Walaupun OTT sekarang tegas diminta presensi di Indonesia based on trafik, subscriber, dan reveneu," ucapnya menambahkan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tetapi, Doni mengkritik, di PP Postelsiar tidak disinggung mengenai pajak digital, yang mana hal itu akan menguntungkan OTT asing dalam menjalankan usahannya di pasar Indonesia yang besar.
"Beda kalau mereka kerja sama dengan operator seluler, bisa ditarik kewajibannya kan. Operator jelas hanya jadi dumb pipe," ungkapnya.
Dengan tidak diaturnya pajak digital terhadap pemain OTT asing ini, itu membuat negara rugi, karena devisa mengalir keluar.
"Negara jelas rugi karena devisa mengalir keluar. Misal kasus Netflix ngga mau CDN sama Telkom, artinya kan belanja bandwidth keluar, dollar AS itu. Belum potensi penerimaan pajak dan lain-lain. Pajak di sini bukan PPn ya, PPn itu dibayar konsumen," jelasnya.
Untuk itu, pemerintah harus bisa menyelesaikan kesetaraan berbisnis, baik antar OTT lokal dengan asing maupun operator seluler dengan OTT asing.
"Serta menegakkan kedaulatan NKRI di ranah digital, di mana negara harus mendapat manfaat optimal dengan digitalisasi bukan hanya menjadi pasar bagi pemain asing," pungkasnya.
Sebagai informasi, pemerintah baru saja menerbitkan 49 Peraturan Pelaksana Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, salah satunya Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2021 tentang Pos, Telekomunikasi dan Penyiaran.
(agt/fay)